TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan 100 persen hak kelola delapan wilayah kerja minyak dan gas bumi yang bakal habis kontraknya kepada PT Pertamina (Persero).
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan blok-blok tersebut bakal memakai skema kontrak bagi hasil kotor (gross split production sharing contract). “Sesuai dengan suratnya, blok yang kena terminasi bakal memakai sistem gross split," ujar Syamsu, di Jakarta, Senin, 30 Januari 2017.
Baca juga: Ini Alasan Mantan Kapolri Badrodin Bergabung dengan Grab
Delapan wilayah kerja itu meliputi Blok Tuban, Blok Sanga-sanga, Blok South East Sumatera, Blok Ogan Komering, Blok B-Blok North Sumatera Offshore (NSO), Blok Tengah, Blok East Kalimantan, dan Blok Attaka. Masa konsesi area tersebut bakal habis pada 2018.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2015, Pertamina memiliki hak istimewa untuk mengelola blok minyak dan gas yang bakal habis masa kontraknya.
Simak juga: Begini Cara Go-Jek Manfaatkan Ceruk Cuan Belanja Online
Menurut Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar, penugasan diberikan untuk menambah porsi kepemilikan Pertamina hingga di atas 50 persen. "Ini akan memperkuat kontribusi national oil company dalam produksi migas kita.”
Syamsu mengatakan perusahaan sedang menyusun studi untuk menahan laju penurunan produksi di setiap wilayah kerja. Sebab, beberapa blok, seperti Sanga-sanga, East Kalimantan, Tengah, serta Attaka, saat ini tidak dikelola oleh Pertamina. Penurunan angka produksi di blok tersebut cukup tinggi karena sudah beroperasi selama 50 tahun.
Baca juga: Produksi Minyak Terancam Turun pada 2019
Pertamina mempertimbangkan rencana investasi lebih dini di blok itu, seperti yang dilakukan di Blok Mahakam mulai tahun ini. Kontrak Pertamina di blok tersebut baru berlaku awal tahun depan. Kucuran duit Perseroan nantinya diganti oleh negara melalui cost recovery.
Namun Pertamina masih ragu mengusulkan skema ini karena kontrak gross split yang bakal berlaku tidak membenarkan penggantian biaya operasi. "Itu yang harus dicari jalan keluarnya," tutur Syamsu.
Regulasi gross split termuat dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 8 Tahun 2017. Bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor mencapai 57 persen dan 43 persen. Adapun untuk gas, porsi negara sebesar 52 persen dan kontraktor mendapat 48 persen. Angka ini berbeda dengan kontrak bagi hasil konvensional, yakni bagian minyak pemerintah mencapai 85 persen dan gas 65 persen.
Bagi hasil untuk kontraktor bisa bertambah maksimal 5 persen jika pengembangan lapangan tidak ekonomis. Faktor lainnya adalah fluktuasi harga minyak dunia. Namun, jika produksi melimpah dan harga melampaui US$ 85 per barel, negara mendapat tambahan hasil migas sebesar 5 persen.
Arcandra mengatakan bagian hasil tersebut sudah final tanpa dipotong biaya pengganti operasional (cost recovery).
Dalam kontrak lama, besaran biaya pengganti rata-rata justru membuat porsi migas pemerintah berkurang sampai 45 persen. “Berdasarkan studi dari kontrak di 10 wilayah kerja, (bagian negara) bisa 40 persen."
Arcandra berjanji skema gross split tidak akan merugikan kontraktor. Justru kontrak ini bisa membuat pendapatan perusahaan bertambah jika kegiatan operasionalnya efisien.
Gross split juga diklaim mampu mempercepat masa produksi migas hingga tiga tahun. Sebab, pemerintah bersama kontraktor tidak perlu membahas cost recovery yang kerap membuat masa produksi berlarut-larut.
Waktu yang dihemat tersebut untuk penyusunan Front End Engineering Design (FEED) hingga tahap rekayasa, pengadaan, dan konstruksi. Dalam kontrak gross split, kontraktor bisa menyusun dokumen itu tanpa pembicaraan panjang dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
ROBBY IRFANI