TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pemerintah mengurangi porsi pembiayaan pada skema fasilitas likuiditas pembiayaan dan perumahan atau FLPP diperkirakan baru akan terealisasi mulai awal 2018. Hal ini dikarenakan kajian yang baru rampung pada akhir tahun lalu.
Direktur PT Sarana Multigriya Finansial Trisnadi Yulrisman mengatakan, sebagai perusahaan pembiayaan sekunder, dalam hal ini perusahaan bergerak sebagai alat pemerintah untuk merealisasikan wacana tersebut.
Setahun lalu pihaknya sudah menyelesaikan kajian bekerjasama dengan sejumlah lembaga independen salah satunya dari Universitas Indonesia.
“Selanjutnya seluruh lembaga terkait harus melakukan harmonisasi dan duduk bersama untuk lebih matang membicarakan tentang tujuan dan target pengurangan rasio likuiditas dari skema FLPP yang diperkirakan membutuhkan waktu sepanjang tahun ini,” katanya kepada Bisnis, Senin (30 Januari 2017).
Trisnadi mengungkapkan, sejumlah lembaga terkait tersebut di antaranya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Keuangan, dan Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Dana Pembiyaan Perumahan (BLU PPDPP).
Sementara itu, saat ini tepatnya sejak 2015 lalu pemerintah telah mengatur besaran likuiditas FLPP adalah 90:10. Artinya, pemerintah menyiapkan dana 90%, sedangkan 10% lainnya disediakan oleh perbankan. Dengan skema tersebut, perbankan dapat menyalurkan pembiayaan FLPP dengan bunga 5% dan tenor 20 tahun.
Trisnadi memastikan, sejauh ini tidak ada kendala berarti dalam proses pengurangan porsi pemerintah tersebut. Jika sudah berjalan, pemerintah dapat melakukannya secara bertahap mulai dari 5%, lalu 10%, hingga seterusnya.
Pengurangan beban pemerintah pada pembiayaan skema FLPP adalah perbankan memiliki porsi yang lebih besar sehingga dapat menjangkau konsumen lebih banyak dari saat ini. Selain itu, tentunya anggaran negara dapat lebih rendah dan dapat dialokasikan pada insentif lain.
“Jadi perhitungan kasarnya begini misal ada penurunan 5% nantinya, maka dikali saja sama anggaran lalu dibagi harga rumah, nah hasilnya itu tambahan konsumen yang dapat memanfaatkan fasilitas FLPP di perbankan,” ujar Trisnadi.
Sementara itu, menurutnya, SMF pun terus bergerak mendorong perbankan agar lebih banyak yang mau mencairkan FLPP.
Pembiayaan
Tahun ini, SMF mengincar angka pembiayaan sebesar Rp5,7 triliun. Angka lebih tinggi sekitar 5,5% dari realisasi pembiayaan yang dibukukan SMF pada 2016 lalu sebesar Rp5,46 triliun.
Mantan Menteri Perumahan Rakyat yang saat ini menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sekaligus pencetus skema FLPP Suharso Monoarfa pun pernah menegaskan hingga saat ini ada dua persoalan penyaluran dana FLPP.
“Pertama, dari sudut pemerintah bagaimana menyediakan rumah terjangkau dengan biaya murah dan jangka waktu yang panjang. Kedua, dari sisi belanja negara agar tidak menjadi beban yang lebih besar,” katanya.
Suharso mengatakan, saat ini pemerintah menyubsidi untuk FLPP sebesar 90% sedangkan pihak swasta 10%. Padahal jika beban pemerintah bisa dikurangi menjadi 60 – 50% maka jangka waktu kredit bisa lebih panjang hingga 30 tahun dari yang saat ini 20 tahun dengan bunga tetap sekitar 4,8%.
“Porsi anggaran itu terlalu besar bagi pemerintah dan sudah selayaknya dipertimbangkan untuk diubah agar tidak terlalu membebani APBN. Sebab, dampaknya akan membuat tenor kredit yang saat ini 20 tahun bisa lebih panjang menjadi 30 tahun.”