TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY melontarkan istilah skandal Watergate saat menanggapi penyataan pengacara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam persidangan dugaan penistaan agama yang menunjukkan bahwa teleponnya disadap.
Dalam persidangan itu, kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat, mengajukan sejumlah pertanyaan terkait dengan hubungan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin, yang tampil sebagai saksi, dengan SBY.
Humphrey menanyakan soal pertemuan Ma'ruf dengan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pada 7 Oktober 2016. "Banyak pemberitaan yang menampilkan adanya dukungan Ma'ruf kepada pasangan nomor satu itu," kata dia.
Baca: SBY Minta Transkrip Percakapannya dengan Ma'ruf Diserahkan
Sidang kasus Ahok yang ke-8 di Aditorium Kementerian Pertanian Ragunan, Jakarta Selatan itu, Ma'ruf tak menyangkal adanya pertemuan tersebut. Tapi, Ma`ruf membantah disebut memberi dukungan kepada Agus-Sylvi dalam Pilkada DKI.
Ma'ruf yang menjabat sebagai Rais Aam PBNU, menyatakan NU tidak mendukung salah satu calon. Menurut Ma`ruf, ada pernyataan dirinya yang dianggap mendukung Agus-Sylvi, padahal tidak.
"'Warga NU tentu akan memilih calon yang paling banyak samanya dengan NU. Mudah-mudahan paslon nomor satu yang banyak samanya'. Ucapan di kalangan NU itu sebagai menggembirakan. Bukan mendukung," ujar Ma'ruf.
Kemudian, Humphrey kembali mengungkapkan adanya percakapan Ma'ruf dengan SBY melalui telepon, tepat sehari sebelum pertemuan itu. Humphrey meminta penjelasan pada Ma'ruf soal adanya permintaan SBY agar menerima kunjungan anaknya, Agus, di kantor PBNU dan meminta agar dibuatkan fatwa mengenai penistaan agama. Namun, Ma'ruf membantah adanya percakapan itu.
Baca: Istana Kepresidenan Bantah Ada Instruksi Penyadapan ke SBY
Dari sinilah kemudian SBY merasa perlu menjelaskan panjang lebar ihwal komunikasinya dengan Ketua MUI tersebut. Menurut SBY dalam jumpa pers di Wisma Proklamasi Jakarta pada Rabu, 1 Februari 2017, pernyataan pengacara itu menunjukkan bahwa teleponnya disadap.
Tanpa perintah pengadilan atau polisi, SBY menegaskan bahwa penyadapan terhadap pembicaraan teleponnya dengan Ma'ruf itu ilegal. SBY minta penegak hukum menyelesaikan masalah ini. Bahkan SBY menyebut Presiden Joko Widodo perlu ikut mengatasinya.
SBY pun menyamakan penyadapan yang dialaminya itu dengan skandal Watergate yang membuat Presiden Amerika Serikat Richard Nixon terjungkal akibat penyadapan terhadap lawan politiknya pada 1972.
"Dulu, kubu Nixon menyadap kubu lawan politik yang juga sedang dalam masa kampanye presiden. Nixon terpilih, tapi terbongkar, ada penyadapan, taping, spying, sehingga Nixon mundur, karena kalau tidak, ia akan di-impeach," kata SBY dalam jumpa pers di rumahnya di Jakarta, Rabu, 1 Februari 2017. Sejumlah stasiun televisi menyiarkan secara langsung jumpa pers ini.
Baca: Soal Demo Ahok, SBY: Sampai Lebaran Kuda Tetap Ada jika...
Sebelumnya, saat memberikan pernyataan terkait dengan proses hukum kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok, SBY melontarkan istilah "lebaran kuda" yang kemudian menjadi pembicaraan publik.
Ketika itu, SBY meminta proses hukum Ahok harus dilanjutkan perihal adanya rencana demonstrasi pada 4 November 2016. "Jangan sampai ada tudingan Ahok kebal hukum," katanya di Puri Cikeas Indah, Bogor, Rabu, 2 November 2016.
Jika pemerintah dan penegak hukum tidak mempedulikan permintaan masa, kata SBY ketika itu, aksi demonstrasi akan terus ada. "Sampai lebaran kuda bakal ada unjuk rasa. Ini pengalaman saya," ujarnya.
Saat itu, SBY mengingatkan pula, bila pemerintah atau penegak hukum tidak memproses Ahok, akan ada tudingan Istana melindunginya. Dia khawatir negara akan terbakar oleh amarah penuntut keadilan.
Y.Y. | AHMAD FAIZ | RINA W.