TEMPO.CO, Bandung - Pusat Kajian Halal Institut Teknologi Bandung menyediakan pakar dan peneliti lintas keilmuan serta laboratorium untuk menguji produk barang dan jasa yang halal. Ketua lembaga tersebut, Tati Syamsudin mengatakan, pihaknya tidak bersaing dengan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
"Kami bekerja sama dengan MUI untuk pemeriksaan, sertifikat halalnya tetap yang mengeluarkan MUI," kata Tati, Kamis, 2 Februari 2017.
Baca:
Abisindo Meminta Industri Halal Diwajibkan Memakai Bank Syariah
Pusat Kajian Halal ITB didirikan pada 14 Desember 2015. Bertempat di dalam kampus ITB, lembaga itu juga melayani rancangan produk jasa untuk pariwisata halal. "Pusat ini mengkoordinir akademisi dan kelompok di ITB yang bekerja untuk mendukung produk halal," kata dia.
Beberapa yang terjaring, di antaranya peneliti teknologi nano, pakar farmasi, laboratorium mikrobiologi, kimia, dan studi pariwisata. Aturan memperbolehkan kampus membuat lembaga pengujian halal itu dan Rektor ITB mendukung penuh.
Simak juga:
3D di Bursa Pilgub Jabar: Deddy, Dede, Desy Paling Populer
Selama setahun lebih beroperasi, kata Tati, mayoritas pemeriksaan di lembaganya terkait dengan produk kuliner. Obat dan kosmetika tergolong jarang. "Penerapan produk-produk farmasi harus berlabel halal itu baru akan dimulai pada 2019," ujarnya.
Selain itu, ia menilai pariwisata halal dinilai kalah penting. Beberapa indikator sesuai dengan jenis usahanya, antara lain memasang tanda arah kiblat di kamar hotel dan memisahkan dapur serta peralatan memasak jika hotel menyajikan kuliner yang tidak halal bagi kaum muslim.
Ketentuan seperti itu, kata Tati, telah diterapkan negara di Asia, seperti Singapura, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan, sebagai layanan dan daya tarik bagi turis muslim sedunia.
ANWAR SISWADI