TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan menjadi kaya bukanlah suatu dosa. Asalkan kekayaan itu diperoleh secara halal, tidak lalai membayar pajak, dan rajin berbagi dengan yang tidak mampu.
SBY dan Demokrat mendukung kebijakan tax amnesty yang digulirkan pemerintah untuk menarik uang yang terparkir di luar negeri. Namun ia mengingatkan agar tetap berorientasi pada tujuan dan sasaran awal.
"Menggeser sasaran kepada rakyat biasa disertai komunikasi yang tidak baik membuat masyarakat takut, merasa dikejar-kejar, dan tidak tenteram tinggal di negerinya sendiri," kata SBY dalam pidato politiknya di acara Dies Natalis ke-15 Partai Demokrat di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Selasa, 7 Februari 2017.
Ia berpendapat, sasaran utama tax amnesty haruslah 100, 200, 500, atau 1.000 orang terkaya Indonesia. Di samping pemerintah mendapatkan bayaran untuk pemutihan, masih ada dana yang dapat digunakan untuk menggerakkan ekonomi nasional.
Sebab, menurut Presiden Indonesia ke-6 ini, tren abad ke-21 ditandai oleh kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin tinggi. Separuh kekayaan dunia dimiliki oleh orang-orang kaya yang jumlahnya hanya 1 persen. Sementara sisanya dibagi oleh 99 persen penduduk bumi yang lain.
Baca:
SBY Merasa Terhina, Dikatakan Dalang Aksi 411
Sering Curhat di Twitter, SBY Dianggap Seperti Anak Kecil
Begitu pula di Indonesia, total kekayaan 150 orang terkaya setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bahkan, kata dia, harta orang Indonesia yang paling kaya jumlahnya 3 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta, 8,5 kali APBD Jawa Timur, dan 95 kali APBD Maluku Utara.
"Bagaimanapun, negara bersalah dan berdosa jika tidak memikirkan, tidak membantu, dan tidak meningkatkan taraf hidup rakyat miskin. Inilah esensi dari keadilan sosial-ekonomi yang harus kita tegakkan," ujarnya.
SBY menjelaskan, negara tidak boleh terlena dengan hukum pasar dan kapitalisme. Pasar bebas, serta ajaran neoliberal dan kapitalisme yang fundamental, kata dia, tidak peduli terhadap rakyat kecil. "Negara tidak boleh hanya mengikuti kepentingan perusahaan bisnis multinasional dan liberalisasi perdagangan bebas, tanpa memikirkan dampak negatifnya bagi rakyat," katanya.
SBY menuturkan, melepas harga-harga kebutuhan pokok mengikuti harga pasar semata, tanpa memperhatikan daya beli rakyat, bukan pilihan yang bijak. Menurut dia, tak berarti akan masuk ke perangkap ekonomi komando atau ekonomi yang sosialistik-komunistik.
Namun tidak berarti pula pemerintah harus selalu menetapkan dan mengendalikan harga-harga. Meski dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi yang harus efisien, SBY berpendapat, bagi negara berkembang dengan pendapatan per kapita masih rendah, diperlukan keseimbangan antara mekanisme pasar dan peran pemerintah yang proporsional.
"Pemerintah tak boleh menyerahkan segalanya ke mekanisme pasar bebas. Intervensi pemerintah yang positif, proporsional, dan diperlukan tetaplah harus dilakukan,"
SBY mengatakan pemerintah harus hati-hati bila hendak bergabung dengan organisasi kerja sama ekonomi yang ditawarkan negara besar. Pemerintah diminta cermat bila hendak bergabung ke organisasi yang mengikat dan terstruktur ketat, seperti Trans-Pacific Partnership (TPP). "Sebab, kalau gegabah, tidak siap, dan salah perhitungan, Indonesia akan sangat dirugikan," ujarnya.
Selain itu, SBY meminta pemerintah tidak semata-mata berinvestasi di sektor infrastruktur. "Investasikan pula sumber daya manusianya (human capital), agar negara makin berdaya saing, makin maju, dan makin unggul di masa depan," katanya.
AHMAD FAIZ
Baca: SBY: Jangan Ada Islamophobia dan Kristenphobia di Indonesia