TEMPO.CO, Kuala Lumpur - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur memulangkan Atase Imigrasi, Dwi Widodo, ke Indonesia meski masa tugasnya belum selesai. Hal tersebut setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Dwi sebagai tersangka pembuatan paspor bagi WNI di Malaysia.
"Kami mengkonfirmasi bahwa Atase Imigrasi, saudara Dwi Widodo, telah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi," kata Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Kuala Lumpur, Andreno Erwin, kepada Tempo, Kamis, 9 Februari 2017.
Meski demikian, kata Andreno, saat ditetapkan sebagai tersangka, Dwi sudah berstatus nonaktif di KBRI Kuala Lumpur. "Yang bersangkutan ditarik lebih awal ke Jakarta dari masa tugasnya. Semestinya beliau bertugas hingga pertengahan 2017, tapi mungkin karena ada indikasi kasus ini, Desember 2017 kemarin sudah ditarik pulang," ujarnya.
Baca: Suap Paspor, Begini Atase Imigrasi Malaysia Jadi Tersangka
Dwi diduga menerima suap terkait dengan proses penerbitan paspor bagi warga negara Indonesia di Malaysia dengan metode reach out tahun 2016. Reach out adalah WNI yang akan membuat paspor tidak perlu datang ke KBRI, tapi petugas KBRI yang mendatangi mereka ke perusahaan-perusahaan tempat kantong-kantong TKI tersebut berada.
Selain melalui reach out pembuatan paspor, Dwi ditengarai menerima rasuah dari pembuatan visa (calling visa) bagi warga negara asing yang akan masuk dan bekerja di Indonesia. Atas perbuatannya, Dwi diperkirakan meraup keuntungan hingga Rp 1 miliar.
Dalam kasus tersebut, Dwi disangkakan Pasal 12-a atau Pasal 12 -b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, akan menerima hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Lebih lanjut, Andreno menjelaskan, saat ini metode reach out pembuatan paspor WNI dihentikan sementara. "Tujuan awalnya sebenarnya baik, untuk memudahkan WNI yang akan membuat paspor agar mereka tidak perlu bolak-balik ke KBRI. Namun dalam pelaksanaannya ternyata ada penyelewengan," tuturnya.
Ke depan, kata Andreno, setelah dilakukan perbaikan SOP, tidak menutup kemungkinan sistem ini kembali digunakan. "Namun tetap kami sesuaikan dengan arahan Kemenlu bahwa kami zero tolerance dengan semua penyelewengan," ujar diplomat yang baru sebulan bertugas di Kuala Lumpur ini.
MASRUR