TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Bidang Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Yana Mulyana, menyatakan keberatan atas rencana pemerintah mengenakan pajak progresif bagi tanah menganggur. Ia beralasan tanah merupakan barang modal yang menghasilkan nilai tambah bagi pengembang.
“Tanah tidak kami biarkan begitu saja, tetapi kami bangun secara bertahap karena pemasarannya tidak mungkin sekaligus,” ujar dia kepada Tempo, Rabu 8 Februari 2017.
Baca : Perangi Spekulan, Lahan Menganggur Dipajak Progresif
Menurut Yana, pengembang properti sudah terbebani oleh kenaikan nilai jual obyek pajak lahan, terutama di kota-kota besar. Belum lagi biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak bumi dan bangunan, serta pajak penghasilan. Jika pajak baru diberlakukan, Yana memprediksi harga properti bakal meningkat.
Ia berpendapat pengembang bukanlah spekulan yang membeli tanah untuk dijual lagi dengan harga tinggi. Perolehan tanah oleh pengembang justru didasari izin lokasi yang disetujui pemerintah.
Baca : Sertifikasi Tanah, BPN Akan Proaktif Datangi Masyarakat
Pajak tanah juga diramalkan bakal menghambat pengembangan rumah bagi masyarakat kecil. Yana menyatakan 80 persen anggota REI adalah pengembang rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pengusaha jenis ini rata-rata hanya menguasai tanah sekitar 10–50 hektare. Pembangunannya pun dilaksanakan secara bertahap lantaran terbentur modal.
“Progresif itu batasannya apa? Buat pengembang kecil tanah 10 hektare itu luas. Tapi buat pengembang besar itu kecil,” ia menambahkan.
Anggota Asosiasi Real Estate Broker Indonesia, Ronny Wuisan, berharap pemerintah tidak gegabah dalam meluncurkan kebijakan pajak baru atas tanah tersebut. Aturan yang tidak tepat sasaran bisa memukul mundur pertumbuhan bisnis properti yang melemah sejak 2015 lalu.
Ia menyebutkan, “Kalau harga properti mahal konsumen enggak mau beli, proyek enggak jalan, pemerintah enggak dapat pajak. Efek penggandanya besar sekali.”
Imbas kebijakan pajak tanah, menurut Ronny, bukan cuma penerimaan, tapi juga tenaga kerja. Sebab, properti termasuk industri padat modal dan padat karya.
Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Misbakhun, mengemukakan sektor properti termasuk salah satu yang mencatat pertumbuhan pada tahun lalu. Geliat bisnis ini turut menyumbang pertumbuhan ekonomi yang tercatat sebesar 5,02 persen. Kebijakan pajak progresif, bila tidak hati-hati, kata dia, berpeluang menahan pertumbuhan ekonomi hingga di bawah target.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil memastikan pajak progresif tetap berlanjut. Namun sasarannya adalah lahan milik spekulan yang dianggap Sofyan menghambat pembangunan. “Harga tanah makin mahal, tapi enggak ada fungsi,” ujar Sofyan.
Saat ini, Kementerian Agraria bersama Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menimbang instrumen pajak yang akan dinaikkan. Pilihan mengerucut pada pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Kedua belah pihak juga berkoordinasi untuk menyamakan data tanah.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan pemerintah harus memastikan adanya basis data yang kuat ihwal kepemilikan tanah dan definisi objek pajak. Kebijakan ini dianggap Yustinus rawan membuat gaduh, terutama bagi para peserta amnesti pajak. “Perasaan merasa dijebak karena harus bayar pajak berkali-kali,” kata Prastowo.
ANDI IBNU | VINDRY FLORENTIN | ROBBY IRFANY