TEMPO.CO, Jakarta – Pakar bahasa tubuh Monica Kumalasari menganalisis pernyataan penutup atau closing statement ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di akhir sesi debat terakhir yang berlangsung pada Jumat, 10 Februari 2017, di Hotel Bidakara, Jakarta. Berikut ini analisisnya.
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni
Pernyataan AHY diawali dengan melakukan manipulative gesture yang tidak perlu seperti memperbaiki posisi outfit. AHY membuka dengan menyampaikan kegagalan pasangan inkumben yang telah disampaikannya dalam segmen-segmen sebelumnya.
Hanya, AHY menyentuh ke hal yang bukan merupakan keahliannya, yaitu tentang perbaikan karakter yang dia sebut sangat sulit dan hal ini diulangi hingga beberapa kali. Tak hanya paslon 2, paslon 3 juga tidak luput dari serangannya.
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat
Gambar kondisi Kalijodo yang dipertunjukkan sesungguhnya sudah merebut simpati. Namun kata-kata selanjutnya justru membuat paslon ini seperti menegaskan apa yang disampaikan oleh paslon 1.
Basuki Tjahaja Purnama menutup closing session, padahal dia bukanlah seorang orator yang baik. Basuki lebih tepat menjadi pekerja dan realisator, sedangkan Djarot sangat baik dalam urusan keprotokoleran.
Anies Baswedan-Sandiaga Uno
Anis membuka dengan pernyataan yang lugas dengan penegasan melalui kedalaman dan hentakan suara serta hand gesture bahwa rakyat Jakarta menginginkan pemimpin baru. Pasangan calon ini memperhatikan pemilihan kata tanpa menyinggung paslon lainnya.
Monica menilai ketiga pasangan calon sangat yakin akan maju menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dia menyebut ada satu teori komunikasi yang mengatakan bahwa kata-kata hanya berpengaruh 7 persen, 38 persen berasal dari suara, dan 55 persen dari bahasa tubuhnya.
Di sisi lain, Monica menilai pasangan calon nomor urut 1 tampak grogi dan tidak siap. “Banyak terlihat kebocoran dari bahasa tubuh,” kata Monica. Sementara pasangan calon nomor 2 merasa telah memiliki pengalaman, tapi pemilihan kata-kata dari cagub nomor urut 2 kurang santun.
Pasangan calon nomor urut 3 cenderung bermain dalam konsep yang normatif. Ini menguntungkan karena mereka seolah-olah piawai menerjemahkan visi dan misinya. Namun banyak kebocoran (hal yang seharusnya ditahan tapi tak bisa tertahankan) terjadi dalam hal penguasaan emosi yang ditunjukkan oleh cagubnya.
Catatan: judul artikel ini direvisi seperlunya dari judul awal.