TEMPO.CO, Jakarta - Tamrin Haji Tama, 46 tahun, mengaduk adonan gula aren di wajan besar sekuat tenaga, Rabu, dua pekan lalu. Ia harus bergegas menyelesaikan tugasnya itu karena sebentar lagi magrib. Sesekali dia bergantian dengan Takyn, kawannya.
“Adonan ini harus didinginkan dulu semalam agar bisa diproses besok,” kata Tamrin, kepala kelompok tani hutan Buhung Lali, kepada Tempo di rumah produksi gula aren, awal bulan ini. Kelompok tani ini berada di Desa Bukit Harapan, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Buhung Lali adalah mata air yang ada di desa tersebut. Kelompok tani ini diberi nama demikian, kata Tamrin, dengan harapan bisa menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat.
Menurut Tamrin, pohon aren tumbuh subur di desanya di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Karena itu, dia dan warga desa memanfaatkan pohon tersebut. Mereka mengembangkan usaha gula aren, yang lebih dikenal sebagai gula semut, sejak 2008.
Saat itu, kawasan hutan di sekitar desa mereka masih berstatus hutan lindung. Jadi, Tamrin dan warga desa tidak bisa mengambil nira seenaknya. Barulah pada Juli 2011, saat hutan di kawasan Gantarang mendapat status hutan kemasyarakatan, mereka mengajukan permohonan izin memanfaatkan sumber daya hutan. Izin keluar pada November 2011 untuk pengelolaan 78 hektare hutan selama 35 tahun.
“Diberikan agar warga memanfaatkan hutan sekaligus menjaganya,” kata Sukardi, Kepala Seksi Penyiapan Hutan Kemasyarakatan Wilayah II Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Meski dirancang untuk memberdayakan masyarakat, hutan kemasyarakatan juga bisa dianggap sebagai alat untuk menyelesaikan konflik tenurial (lahan) hutan. Ini seperti yang terjadi dalam kelompok tani Borong Rappoa, Kecamatan Kindang, Bulukumba.
Apa pun tujuannya, toh, Tamrin dan kelompok tani di desanya merasa sangat terbantu dengan terbitnya izin ini. “Aren di sini berlimpah, sayang kalau tidak dimanfaatkan,” kata dia.
Getah nira, yang digunakan sebagai bagai bahan dasar gula aren, di Bukit Harapan biasanya siap dipanen pada musim kemarau. Namun jangan sekali-kali langsung memotongnya kalau tak mau kena semprot warga. “Ada cara khusus. Harus di-toki-toki dahulu,” ujar Tamrin menjelaskan.
Toki-toki alias diketuk-ketuk dengan lembut adalah cara untuk mengumpulkan getah di ujung buah nira. Setelah beberapa menit, ujung buah dipotong supaya getah keluar.
Kini, produksi gula semut kelompok tani Buhung Lali sudah mencapai 300 kilogram per bulan. Per kilogram dijual dengan harga Rp 20 ribu di pasar tradisional dan minimarket. Keuntungan rata-rata yang mereka dapatkan per bulan bisa mencapai Rp 3 juta.
“Karena kami juga mendirikan koperasi, jadi hasilnya dibagi rata atau sebagai modal selanjutnya,” kata Tamrin.
Anggota kelompok tani kini sudah berlipat. Dari yang semula hanya 49 orang, sekarang sudah ada 109 orang.
Pada 2015, pola pengelolaan hutan kemasyarakatan di sini diganjar gelar juara 1 Lomba Hutan Kemasyarakatan Nasional. Presiden Joko Widodo secara langsung menyerahkan penghargaan tersebut.
Sedangkan tahun lalu, kelompok tani Buhung Lali mendapat hadiah dari pemerintah Bulukumba berupa rumah produksi seluas 135 meter persegi. Di dalamnya juga dibangun tiga tungku perapian yang bisa memuat wajan berkapasitas 50 liter.
Tamrin menjelaskan, 1,7 kilogram gula semut bisa dihasilkan dari wajan 10 liter. Artinya, dengan tambahan tiga tungku tersebut, mereka bisa meningkatkan produksi hingga 25,5 kilogram gula per hari.
“Setidaknya mereka tidak merambah atau membakar hutan,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bulukumba Misbawati Andi Wawo.
Api sudah berhenti menjilati tungku. Tamrin memindahkan adonan gula di wajan di dalam ruangan. “Supaya besok bisa langsung diproses menjadi bubuk.”
AMRI M.