TEMPO.CO, Jakarta - Megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung masih kesulitan mendapatkan lahan di Karawang-Purwakarta. Sejumlah bidang lahan yang masih dikuasai oleh warga dan kawasan industri itu rencananya akan menjadi jalur kereta cepat. “Kami belum bisa masuk ke sana,” kata Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia Cina Hanggoro Budi Wiryawan saat dihubungi Tempo, Selasa, 14 Februari 2017.
Di Karawang-Purwakarta, KCIC mesti membebaskan sejumlah bidang tanah dengan luas 500 hektare. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) sebagai salah satu anggota konsorsium KCIC sebelumnya menyatakan, kebutuhan anggaran buat pembebasan lahan di Karawang-Purwakarta itu mencapai Rp 2 triliun.
Baca: Ini Kendala Proyek Kereta Api di Kalimantan Tengah
Tapi menurut Hanggoro, KCIC belum mengetahui estimasi kebutuhannya. “Kami belum bisa mengukur tanahnya sehingga belum ada estimasinya,” kata Hanggoro.
Kepada Tempo, pekan lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengatakan, KCIC kesulitan lantaran harga yang diminta pemilik tanah kelewat mahal. Bahkan, kata Sofyan, harganya cenderung tidak wajar. “Pemilik tanah mintanya sekitar US$ 1.000 per square meter (setara Rp 13,3 juta). Mereka menganggap seperti menjual tanah biasa. Padahal kereta cepat itu untuk kepentingan umum,” kata Sofyan.
Sofyan mengaku sudah bertemu dengan Hanggoro. Kementerian ATR berjanji akan membantu KCIC membebaskan lahan di Karawang-Purwakarta tersebut. Caranya, kata Sofyan, mencarikan lahan pengganti bagi kawasan industri yang terdampak. “Dengan memberikan hak kawasan industri di tempat lain, misalnya,” kata Sofyan.
Baca: Freeport Sudah Bisa Ekspor Konsentrat Lagi
Kementerian Agraria dan Tata Ruang yakin bisa membantu pembebasan lahan kereta cepat. Sebab, kata Sofyan, dalam pemberian hak guna bangunan kawasan industri, terdapat klausul kewajiban pemegang hak lahan melepasnya bila tanah itu diperlukan untuk kepentingan umum atau negara dengan harga wajar.
Kereta cepat bukanlah proyek negara. Namun Sofyan mengatakan, proyek itu buat orang banyak dan berdampak bagi perekonomian negara. “Jadi wajib melepaskannya sesuai ganti rugi yang disepakati. Cuma selama ini kalau menangani pembebasan lahan sendiri tanpa bantuan BPN, itu nggak berlaku,” kata Sofyan.
Hanggoro mengakui, KCIC memang masih terbentur harga yang diminta pemilik tanah. Namun Hanggoro menampik kisaran harga tanah yang disebut Sofyan mencapai US$ 1.000 per meter persegi itu. “Nggak sampai segitu. Mereka mintanya US$ 200 (setara Rp 2,6 juta per meter persegi,” kata Hanggoro.
Status penguasaan lahan di Karawang-Purwakarta semakin krusial buat kelanjutan megaproyek yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sejak Januari 2016 itu. China Development Bank, kreditur biaya proyek, meminta KCIC membebaskan semua lahan proyek sebagai syarat pencairan pinjaman.
Akhir Januari lalu, Direktur Keuangan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) Antonius Kosasih mengatakan, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pinjaman proyek sebetulnya sudah beres antara KCIC dengan CDB. CDB akan mengucurkan pinjaman sebanyak 75 persen dari total biaya proyek sebesar US$ 5,2 miliar. “Semua sudah oke. Tapi tanah harus 100 persen dulu,” kata Anton.
Untuk membebaskan lahan di Karawang-Purwakarta itu, kata Anton, KCIC setidaknya butuh duit Rp 2 triliun. Duit itu rencananya akan disetor oleh semua anggota konsorsium KCIC, baik dari empat BUMN Indonesia maupun BUMN Cina.
Empat BUMN Indonesia tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia. PSBI yang terdiri dari WIKA, Kereta Api Indonesia, Perkebunan Nusantara VIII, dan Jasa Marga, memegang 60 persen saham di KCIC, sisanya konsorsium BUMN Cina.
Hanggoro mengklaim, empat BUMN tersebut telah menyetor modal tambahan untuk pembebasan lahan. Setoran berdasarkan porsi kepemilikan saham empat BUMN di PSBI. WIKA menguasai 38 persen saham di PSBI, KAI dan PTPN VIII masing-masing 25 persen, dan Jasa Marga 12 persen.
KHAIRUL ANAM