TEMPO.CO, Malang - Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Malang menggelar doa bersama memperingati tragedi terbunuhnya relawan remaja palang merah di Peniwen, Kromenangan, Kabupaten Malang. Peringatan dilakukan secara sederhana di Pandapa Kecamatan Turen. Dihadiri ratusan anggota Palang Merah Remaja (PMR) dan Korps Sukarela PMI Kecamatan Turen.
"Sekaligus memperingati ulang tahun KSR PMI Turen ke-33," kata Ketua KSR PMI Kecamatan Turen Wawan Supriadi, Ahad, 19 Februari 2017. Mereka mendoakan para pejuang dan relawan PMI yang telah meninggal. Termasuk para relawan remaja palang merah yang ditembak tentara Belanda pada 19 Februari 1949.
Baca juga:
Gubernur Jawa Barat Donor Darah di PMI
Gempa Aceh, PMI Kirim 21 Personel ke Kabupaten Pidie
Menurut dia, selama 33 tahun ini anggota KSR PMI Kecamatan Turen telah terlibat dalam berbagai operasi penanganan bencana alam serta kegiatan kemanusiaan lainnya, seperti penanganan bencana letusan Gunung Kelud, Gempa Yogyakarta, dan tsunami Aceh.
Pengurus PMI Kabupaten Malang bidang informasi dan komunikasi, Immanudin, menjelaskan, PMI merupakan satu-satunya perhimpunan nasional palang merah, serta secara internasional di bawah koordinasi Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Untuk itu, dia meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepalangmerahan.
Baca Juga:
Baca pula: PMI Bangun Pabrik Pengolah Plasma dan Kantong Darah
"Undang-undang merupakan upaya perlindungan relawan palang merah yang diatur sesuai Konvensi Jenewa," kata Immanudin. Lambang tersebut, kata dia, juga penting untuk tugas kemanusiaan di medan perang dan konflik. Sesuai hukum humaniter internasional pihak yang berkonflik atau berperang dilarang melukai petugas palang merah.
Selain itu, untuk memberikan perlindungan kepada petugas PMI agar bekerja profesional, serta melayani secara cepat dan tepat dalam berbagai tugas kemanusiaan. "Undang-undang mengenai lambang merupakan kewajiban setiap negara yang merativikasi konvensi," ujarnya.
Apalagi, Kabupaten Malang merupakan daerah rawan bencana yang membutuhkan payung hukum untuk perlindungan bagi para relawan. Immanudi menjelaskan, Monumen Peniwen Affair merupakan satu-satunya monumen PMR di Indonesia, serta satu dari dua monumen Palang Merah yang diakui secara internasional.
Monumen Peniwen didirikan untuk mengenang 12 anggota PMR serta beberapa anggota masyarakat Peniwen yang terbunuh saat agresi militer Belanda kedua. Saat itu, PMR tengah bertugas merawat pasien di RS Panti Husada.
Terbunuhnya anggota PMR ini dilaporkan Pendeta Martodipuro ke Dewan Gereja Dunia atau World Council of Churcheske. Lantas Prancis, Swiss, Argentina, Jerman, dan Inggris memberikan dukungan dan menekan Belanda untuk menghentikan agresi militer. Militer Belanda, kata dia, melanggar Konvensi Jenewa 1949, atau melakukan kejahatan perang.
Monumen berdiri atas prakarsa Bupati Malang Edy Slamet dan diresmikan Pengurus Besar PMI, Marsekal Muda Dr Sutojo Sumadimedja, pada 10 November 1983. Pada 15 Januari 2011, Ketua PMI meresmikan lokasi terbunuhnya anggota PMR menjadi Jalan PMR.
EKO WIDIANTO
Simak: Terkait Suap Pejabat Pajak, Rumah Adik Ipar Jokowi Sepi