TEMPO.CO, Jakarta - Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND) mendukung penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 mengenai perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Beberapa poin penting dalam peraturan tersebut terkait dengan kewajiban divestasi saham 51 persen, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, dan perubahan kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Baca: Jonan Sebut Freeport Hanya Sebesar Sapi, Ini Alasannya
Sekretaris Jenderal Hendrik Kurniawan menilai, dengan adanya divestasi dan pembangunan smelter, dipastikan akan berdampak secara keekonomian, terutama bagi penerimaan negara. Bahkan dengan saham mayoritas, Indonesia diharapkan dapat mengendalikan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia.
“Kami mendorong pemerintah mewujudkan kedaulatan nasional dengan melawan segala bentuk ancaman Freeport,” ujar Hendrik dalam keterangan persnya, Rabu, 22 Februari 2017.
Baca: Daftar Lengkap Butir Negosiasi KK vs IUPK Freeport
Baca Juga:
Hendrik berharap, kebijakan tersebut dapat mewujudkan kemandirian nasional dengan tidak memperpanjang kontrak karya atau izin usaha Freeport. Selain itu, ia berharap pemerintah dapat mewujudkan demokrasi ekonomi dengan melibatkan rakyat dalam pengelolaan kekayaan tambang nasional.
Namun Hendrik tidak memungkiri kebijakan tersebut akhirnya mendapat penolakan dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoran Inc, yang sudah beroperasi di Indonesia selama 50 tahun. Bahkan perwakilan Freeport di Indonesia, PT Freeport Indonesia (PTFI), mengancam menggugat pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase internasional.
Baca: Tanpa Freeport, Bea Cukai Jamin Penerimaan APBN Aman
Freeport juga sebelumnya mengancam pemerintah Indonesia dengan wacana akan memulangkan (PHK) puluhan ribu karyawan, yang sebagian besar merupakan warga negara Indonesia (WNI). Tidak hanya itu, perusahaan tersebut berulang kali menyampaikan bahwa jika Freeport keluar dari Papua, akan terjadi gejolak sosial di daerah tersebut, yakni konflik antar-suku.
Hendrik menilai ancaman tersebut justru menunjukkan sikap kesewenang-wenangan Freeport kepada bangsa Indonesia. Menurut dia, sebelumnya Freeport berulang kali juga menunjukkan ketidaktundukkannya terhadap konstitusi di Indonesia dan dengan sengaja melanggarnya.
Baca: Tambang Emas Freeport di Papua Terbesar di Dunia
Pelanggaran itu di antaranya tidak segera membangun smelter di dalam negeri sebagaimana amanat Undang-Undang Minerba, pembagian keuntungan yang tidak adil, kecelakaan yang menewaskan ratusan pekerja, tidak dihormatinya hak ulayat warga setempat, dan perusakan lingkungan. Selain itu, Hendrik menilai Freeport sudah melakukan pelanggaran tersebut selama 50 tahun.
“Sebagai langkah awal, keputusan itu sudah cukup baik. Dengan begitu, pemerintah Indonesia telah memproklamasikan diri menjadi bangsa yang berdaulat, tidak bisa lagi diancam dan ditekan oleh modal asing,” ujar Hendrik.
Hendrik menilai, dengan berakhirnya kontrak Freeport, Indonesia dapat memiliki kekayaan tambang di bumi Papua itu seluruhnya. Dari situlah momen kedaulatan sepenuhnya bangsa Indonesia dalam pengelolaan tambangnya. Pemerintah Indonesia juga berkesempatan menghitung kembali aset yang dimiliki dan melakukan penataan ulang untuk pengelolaan yang berbasis kemandirian dan kesejahteraan.
Selain itu, kata Hendrik, pemerintah dapat mendorong pembangunan industri olahan dari bahan mentah menjadi barang setengah jadi dan barang jadi. Ini bisa dimulai dengan mentransfer sebagian keuntungan dari sektor ekstraktif ke pembangunan industri olahan berbasis sumber daya alam tambang. “Karena itu, pemerintah harus mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berbasis teknologi mutakhir,” ujarnya.
LARISSA HUDA