TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hemengku Buwono X menyatakan kebinekaan sangat tergambar jelas saat penanganan bencana alam. Pada gempa bumi Bantul tahun 2006 serta erupsi Gunung Merapi 2010, relawan dari berbagai komunitas dan agama saling menolong tanpa menanyakan latar belakang golongan serta agama.
"Para pendeta, pastor, dan ustad bahu-membahu tanpa bertanya siapa Tuhan-mu. Ini gambaran yang membesarkan semangat kebinekaan hidup di tengah bencana," kata Sultan saat Rapat Kerja Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Hotel Sahid Raya, Yogyakarta, Kamis, 23 Februari 2017.
Berita lain: Korupsi Banyuasin, Ada Uang THR untuk Kapolres dan Kejari
Tanpa menunggu, para relawan langsung memberikan bantuan saat ada bencana. Tenda-tenda darurat dan dapur umum pun dibuat untuk logistik para pengungsi.
Ada 3.500-an petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, di seluruh Indonesia yang ikut dalam rapat yang digelar 22-24 Februari 2017 tersebut.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei menyatakan, saat ini, ada paradigma baru dalam penanganan bencana. Jika dulu pendataan korban dan kerusakan rumah dilakukan seusai masa tanggap darurat, kini hal itu dilakukan saat masa tanggap darurat.
"Dulu bantuan sampai berbulan-bulan baru dapat. Saat ini, begitu diverifikasi, besoknya dapat bantuan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi," tutur Willem.
Ia menyatakan penanggulangan bencana menjadi urusan bersama. Koordinasi dan kerja sama antar-pemangku kepentingan menjadi faktor yang menentukan dalam penanggulangan bencana.
MUH SYAIFULLAH