TEMPO.CO, Brebes - Sekretaris Jenderal Indonesian Fisherman Assosiation (INFISA), Jamaludin Suryahadikusuma, menilai peran pemerintah dalam menangani kasus perbudakan ABK Indonesia di Taiwan masih lemah. Saat ini, belum ada payung hukum yang jelas terkait perlindungan terhadap ABK kapal ikan.
"Sampai saat ini belum ada payung hukum perlindungan ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing," kata Jamaludin saat di Hotel Grand Dian Brebes, Sabtu, 4 Maret 2017.
Baca juga: Aktivis Buruh Taiwan Soroti Kasus Perbudakan ABK Indonesia
Kendati pemerintah saat ini telah membentuk Satgas untuk menanganani persoalan ABK, kata Jamaludin, ketika belum ada payung hukum, maka hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan menurut dia, saat ini keberadaan Satgas yang dibentuk pertengahan Januari lalu belum tampak kerjanya.
"Setelah investigasi Tempo itu kan dibentuk Satgas untuk menangani ABK. Tapi saat ini tugas Satgas itu belum jelas, apa dan bagaimana langkah-langkahnya melindungi ABK," kata dia.
Dia berharap, pemerintah segera membuat aturan yang jelas tentang tata kelola pengiriman dan perlindungan terhadap ABK. Dia juga mendesak kepada pemerintah untuk segera merativikasi konvensi International Labour Organisation (ILO) 188 tentang perlindungan awak kapal perikanan menjadi produk undang-undang. Dengan begitu, pemerintah punya payung hukum yang jelas tentang ABK kapal perikanan. "Kementerian terkait juga harus bisa duduk bersama untuk membahas masalah perbudakan ABK Indonesia ini. Kalau sekarang kan jalan sendiri-sendiri," kata Jamaludin.
Majalah Tempo pada pertengahan Januari 2017 lalu menerbitkan hasil liputan investigasi soal kasus ini. Dalam laporan itu mengungkapkan betapa buruknya perlakuan yang diterima pelaut indonesia di Kapal Taiwan.
Berdasarkan penelusuran Tempo, persoalan ternyata bukan hanya saat di atas kapal saja, tetapi sebelum pemberangkatan. Banyak calon ABK asal Indonesia yang menggunakan dokumen, seperti buku pelaut palsu. Selain itu, perusahaan yang mengirim mereka juga tidak memiliki izin. Akibatnya, perlindungan terhadap ABK Indonesia lemah.
Kasus perbudakan ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan Taiwan juga membuat sejumlah aktivis buruh asal negara tersebut menyambangi Indonesia. Kunjungan yang dilakukan selama sepekan ini untuk mengetahui secara langsung kondisi keluarga para ABK yang bermasalah di Taiwan.
Serikat Anak Buah Kapal di Taiwan atau Yilan Fisherman Labour Union, mendatangi keluarga ABK di sejumlah daerah di kawasan pantai utara Jawa Tengah. Yaitu di Tegal, Brebes, Cirebon, dan Pemalang.
Dari kunjungan itu, mereka mendapati sejumlah temuan di antaranya gaji yang diterima keluarga ABK tidak memenuhi standar. Asuransi ABK yang mengalami masalah seperti kecelakaan kerja dan meninggal dunia juga tidak diterima ke pihak keluarga secara penuh.
Misalnya, ABK yang meninggal pada saat berlayar yang seharusnya mendapatkan asuransi sebesar 500 ribu dolar Taiwan atau sekitar Rp 200 juta. Tetapi pihak keluarga ABK hanya mendapat separuh saja. Temuan lainnya adalah masih banyaknya perlakuan buruk yang dialami oleh ABK dari Indonesia yang bekerja di kapal ikan Taiwan.
"Asuransi yang seharusnya diterima penuh oleh keluarga ABK justru mengendap di agen pengirim," kata Alison Lee Sekjend Yilan Fisherman Labour Union melalui penerjemahnya Jenny.
MUHAMMAD IRSYAM FAIZ