TEMPO.CO, Jakarta - Polisi telah mengendus modus para tersangka yang diduga terlibat dalam kartel cabai di Jawa. Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agung Setya, modus yang dilakukan para tersangka adalah bersepakat menetapkan harga di antara mereka dan mengajukan penawaran ke industri yang membutuhkan cabai sebagai bahan baku.
“Tanggal 1-2 (Maret) saja sudah Rp 180 ribu per kilogram,” tuturnya saat dihubungi Tempo, Senin, 6 Maret 2017. Menurut Agung, sekitar 90 persen cabai yang mereka kumpulkan dialirkan ke industri-industri, bukan ke pasar. “Ini yang bikin langka,” katanya.
Baca: Gandeng Bareskrim, KPPU Tuntaskan Praktik Kartel Cabai
Agung belum bisa memberikan informasi terkait dengan industri mana saja yang menerima pasokan cabai itu. Yang jelas, ucap dia, industri ini berada di Jawa. “Nanti dipastikan lagi. Ada yang di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta,” ucapnya.
Baca: KPPU Balikpapan Endus Permainan Harga Cabai
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggandeng Badan Reserse Kriminal Mabes Polri untuk menyelidiki dugaan praktik kartel cabai di Indonesia. Menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Muhammad Syarkawi Rauf, pihaknya akan mengusut tuntas dan membongkar dugaan praktik-praktik kartel cabai yang terjadi di Indonesia. Sehingga KPPU menggandeng Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
"Kita sudah koordinasi dengan Bareskrim Polri, untuk bersama-sama melakukan investigasi," kata Syarkawi di Makassar, Jumat sore, 3 Maret 2017.
Apalagi, lanjut dia, dengan adanya puluhan ton cabai yang ditimbun oleh pelaku kartel. Seharusnya cabai tersebut disalurkan ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, namun dibelokkan ke sejumlah perusahaan. "Seharusnya kan di distribusikan ke pasar, ini malah dijual ke beberapa perusahaan, dengan harga berkisar Rp 181 ribu per kilogram," ucap dia.
Namun, lanjut dia, KPPU, polisi dan Kementerian Pertanian berhasil mengungkap praktik kecurangan tersebut. Dengan menetapkan dua tersangka yakni SNO dan SJN pengepul cabai rawit di wilayah Jawa Timur.
Menurut Syarkawi, persoalan cabai memang krusial. Sehingga ia meminta kepada pemerintah agar menghindari kebijakan mengimpor cabai. "Kalau jangka pendek impor cabai bisa menjadi pilihan. Tapi jangan menjadi pola untuk mengatasi fluktasi," ucap Syarkawi.
Olehnya itu, ia menyarankan agar pemerintah membenahi pola untuk jangka menengah dan panjang, yakni dari hulu ke hilir. "Jadi kita mulai benahi mulai dari hulu jalur distribusinya. Kemudian hilirnya pun kita dorong, ini yang belum kita lakukan dengan sungguh-sungguh," imbuhnya.
AHMAD FAIZ | DIDIT HARIYADI
Artikel ini telah mengalami perubahan pada Senin, 6 Maret 2017 pukul 16.00.