TEMPO.CO, Jakarta - Apsiah, 30 tahun, begitu semangat bercerita tentang ikan cupang. Senyum di bibirnya tidak berhenti merekah. Bagi Apsiah, ikan cupang merupakan sumber penghasilan. Sejak masih berusia kepala dua, Aipsah sudah aktif berjualan ikan hias itu. "Dulu jualan ikan cupang dari kolam punya kakak," kata dia di Pasar Santa, Jakarta, Selasa, 7 Maret 2017.
Sekarang, Apsiah sudah memiliki kolam sendiri. Usahanya berkembang setelah mendapat pinjaman enam tahun lalu dari Amartha, perusahaan rintisan (startup) layanan keuangan berbasis teknologi (financial technolofy/fintech).
CEO sekaligus pendiri Amartha, Andi Taufan Garuda Putra, mengatakan perusahaannya menawarkan jasa pinjaman bagi usaha mikro, kecil, dan menengah yang belum memanfaatkan layanan perbankan atau lembaga keuangan lainnya (unbanked). "Segmen unbanked di kampung-kampung bagi masyarakat yang kesusahan untuk mendapat akses bank," kata dia.
Baca : Mandiri Capital Indonesia Danai Startup Fintech Amartha
Taufan memahami kondisinya. Sektor informal tidak memiliki aset, arus kas pun tidak stabil karena bisnis mereka rata-rata musiman. Ia pun mengubahnya menjadi kesempatan bisnis.
Taufan kemudian menggalang dana publik melalui layanan peer to peer lending (pinjaman dari pengguna ke pengguna). Masyarakat yang ingin meminjamkan uangnya bisa mendaftar di website Amartha dan mengisi formulir. Mereka bebas menentukan jumlah dana yang akan diinvestasikan dan penerima dana. Tentunya, mereka akan menikmati bagian dari keuntungan peminjam sesuai besaran dana yang ditanam.
Untuk mencari peminjam dana, Amartha menyasar kampung-kampung di Jawa Barat dan Banten. Amartha memiliki agen alias penjaring yang bekerja mencari peminjam dana. "Mereka warga kampung itu sendiri," kata Taufan.
Tugas penjaring adalah menawarkan pinjaman. Taufan mengatakan dana baru bisa disalurkan jika peminjam membentuk kelompok yang terdiri dari 15 hingga 20 orang. Setiap minggu, penjaring akan menyambangi kelompok tersebut untuk mengambil cicilan dari peminjam dana.
Baca : BI Wajibkan Rasio Hedging Utang Luar Negeri Korporasi 25 Persen
Menurut Taufan, kelompok peminjam sengaja dibentuk untuk mengurangi resiko pembiayaan. Amartha menerapkan skema tanggung renteng untuk mitigasi resiko. "Jadi saat ada yang kesulitan bayar, anggota kelompok yang harus menanggung," kata dia.
Dengan skema tersebut, kelompok akan terbiasa memikirkan solusi dari kesulitan bayar. Harapannya, resiko gagal bayar dapat dikurangi. Hasilnya, Amartha berhasil mempertahankan tingkat gagal bayar di angka 0 persen selama tujuh tahun berturut-turut.
Tahun lalu, Amartha telah menyalurkan senilai Rp 68 miliar kepada 30 ribu pengusaha mikro perempuan di Jawa Barat dan Banten. Taufan menargetkan perluasan jangkauan mulai tahun ini hingga ke seluruh pulau Jawa. Ia juga berencana menambah jumlah agen dari 150 orang hingga tiga kali lipatnya.
Target tersebut akan diwujudkan dengan suntikan dana dari PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) bersama Lynx Asia Partners, Beenext, dan Midplaza Holding. Direktur Utama Mandiri Capital, Eddi Danusaputro tidak menyebutkan jumlah dana yang disuntikkan kepada Amartha karena investor dan penerima dana sepakat tidak mengumumkannya. Namun ia mengatakan perusahaan startup yang melakukan series A funding lazimnya menghimpun US$ 2-5 juta.
Baca : Peraturan BI Diterapkan, Utang Luar Negeri Swasta Turun
Dengan kerja sama tersebut, Taufan juga berencana mengembangkan platform credit scoring dengan menggunakan data dari Bank Mandiri. Platform tersebut digunakan untuk mempelajari karakter kreditor macet. Dengan database Mandiri, Amartha bisa memetakan resiko dan menyusun mitigasi kredit macet.
"Kami juga sedang berupaya agar bisa meleverage infrastruktur Mandiri supaya masyarakat yang unbanked bisa banked tanpa perlu ke bank," kata dia. Menurut Taufan, transaksi pinjaman Amartha dengan peminjam hingga saat ini masih dalam bentuk tunai.
VINDRY FLORENTIN