TEMPO.CO, Semarang - Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) Ananta Wiyogo mengatakan, para pengembang di Jawa Tengah telah merasakan masuknya uang dari luar negeri akibat kebijakan amnesty pajak.
Meski dinilai belum signifikan, menurut Ananta, dalam kurun enam bulan ke depan penjualan rumah akan bergeliat. “Para pengembang merasakan amnesty pajak kendati belum begitu signifikan dalam waktu dekat,” kata Ananta di Semarang hari ini, Selasa, 7 Maret 2017.
Baca: Pengembang Protes Rencana Pajak Progresif Tanah
Ananta menjelaskan, minat pembelian rumah yang lebih murah itu seiring masuknya uang yang semula berada di luar negeri. Ia memprediksi efeknya terlihat enam bulan ke depan oleh pencairan dana kredit pemilikan rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) Semarang yang menembus angka Rp 600 juta.
Baca: Pengembang Ini Kasih Diskon Rp 101 Juta Karena Pilkada
“Selain itu pemerintah daerah Jateng sudah membuka kran selebar-lebarnya dalam memberikan suporting percepatan pembangunan rumah murah bersubsidi,” kata Ananta.
Tercatat laju pertumbuhan rumah di Jateng diakui sempat melambat dengan kondisi tahun 2017 REI Jateng hanya mampu merealisasi penjualan rumah 7.100 unit atau jauh dari target 13 ribu unit rumah.
Rata-rata kondisi itu hampir di alami oleh daerah lain seperti Jawa Timur yang terhambat oleh mahalnya harga tanah sebagai lahan pembangunan, serta peraturan daerah yang kontra produktif dengan upaya penambahan rumah lebih banyak .
Menurut Ananta, laju program pembangunan rumah ini akan dipercepat oleh kehadiran undang-undang tabungan perumahan rakyat yang berguna menjamin tersedianya hunian murah. “Ini sebagai jaminan pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak,” katanya.
Sistem yang dibangun itu dengan cara memberi kesempatan sektor informal berpenghasilan di bawah Rp 4 juta untuk mengajukan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). PT Sarana Multigriya Finansial (persero) sebagai perusahaan plat merah itu sebagai penyalur program tak akan mengandeng perbankan tapi instrumen lain lembaga pembiayaan yang bekerja sama dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia.
Ketua DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Jawa Tengah, Bayu Rama Djati, menyatakan lemahnya bisnis pengembangan perumahan sebelumnya juga dipengarui oleh sistem birokrasi yang memudahkan praktik pungutan liar.
“Ini yang dikeluhkan oleh pengembang,” kata Bayu.
Para pengembang merasakan benar betapa pungutan liar merepotkan dalam perizinan pembangunan. Hal itu dinilai menjadi biaya tinggi yang kemudian menjadikan publik sebagai penerima beban biaya tinggi.
“Contohnya kredit rumah dengan nilai kurang dari Rp 100 juta tapi biaya split lahan nilainya hingga Rp 1 juta,” kata Bayu menjelaskan.
Nilai biaya itu dinilai sama dengan biaya split rumah mewah yang selama ini dimilki orang kaya. Efek dari tingginya pungutan liar itu justru mengalihkan masyarakat memilih barang konsumtif dari pada membeli rumah.
EDI FAISOL