TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan menjadi calo anggaran merupakan salah satu modus korupsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP, yang melibatkan sejumlah anggota DPR, merupakan salah satu contohnya. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akan menyidangkan kasus tersebut pada hari ini, 8 Maret 2017.
Lucius menuturkan, selain pemerintah, hanya DPR yang mengetahui informasi awal tentang proyek itu. Mereka yang bermental calo, ucap dia, bisa menjual informasi tersebut kepada rekan bisnis atau pengusaha yang bisa menguntungkannya. "DPR bisa menjanjikan proyek ini akan ditangani suatu perusahaan tertentu dengan meminta imbalan," tuturnya, di Jakarta, Selasa, 7 Maret 2017.
Baca: E-KTP, Politikus Golkar-Demokrat Diduga Terima Dana Terbesar
Lucius menyatakan DPR bisa main mata dengan pemerintah dalam membahas suatu proyek sejak proses perencanaan. Sebagai penentu anggaran proyek, DPR mudah menawarkan kesepakatan jumlah anggaran dengan imbalan gratifikasi. “Apalagi pembahasan anggaran berlangsung tertutup," katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Apung Widadi berpendapat senada. Menurut Apung, anggota DPR berpeluang besar menawarkan proyek kepada pengusaha tertentu. DPR juga bisa membuat kesepakatan dengan pemerintah. Dalam kasus e-KTP, Apung menduga duit paling banyak mengalir melalui Badan Anggaran DPR dibanding ke anggota Komisi Pemerintahan DPR.
"Badan Anggaran yang memutuskan jumlah anggaran masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara," ucapnya.
Badan Anggaran memiliki kewenangan yang besar sehingga gampang memainkan anggaran. Apung juga menyebut pembahasan APBN Perubahan pada pertengahan tahun merupakan celah lain yang biasa digunakan untuk mengutak-atik anggaran. Anggota Dewan memanfaatkan tak adanya asumsi anggaran dalam pembahasan APBN-P, sehingga bisa seenaknya menambah anggaran. Di situlah, ujar Apung, peluang korupsi terjadi. Pembahasan APBN-P yang hanya sebulan juga membuat penganggaran serba terburu-buru.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkun, menuturkan, selain dalam kasus e-KTP, proyek lain yang melibatkan campur tangan anggota DPR adalah kasus korupsi Hambalang dan Wisma Atlet. “Dalam proyek itu, DPR mengakomodasi keinginan para pihak, baik eksekutif maupun swasta," katanya.
Baca juga: Kapolda Jawa Tengah: Konflik Intoleransi Agama Paling Rentan
Untuk memperkecil peluang anggota DPR memanipulasi anggaran, Lucius menyarankan perlunya transparansi. Ia mendesak DPR membahas anggaran secara terbuka. "Media massa dan masyarakat luas dapat memantau pembahasan ini," tuturnya.
Apung menambahkan, Indonesia perlu mencontoh Australia, yang memiliki 100 ahli bergelar doktor dalam menentukan anggaran negara. Penentuan anggaran diputuskan melalui logika dan penghitungan matang. Ini berbeda dengan di Indonesia, yang penentuannya banyak bermuatan politis.
Menurut dia, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara perlu dihidupkan lagi untuk mengecek keseimbangan kebutuhan itu. "Tentu lembaga tersebut harus transparan dan akuntabel," ucap Apung.
MITRA TARIGAN
Video Terkait:
Berkas Kasus Korupsi Pengadaan e-KTP Siap Disidangkan
Terkait Kasus E-KTP, Anggota DPR Ade Komarudin Diperiksa KPK
Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Terkait Proyek E-KTP