TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta dukungan Presiden guna menghindari intervensi penyidikan korupsi pengadaan proyek KTP Elektronik (E-KTP). Dukungan itu diperlukan juga untuk mencegah upaya kriminalisasi terhadap anggota KPK.
"Jika tidak, penjahat e-KTP akan melawan dengan melaporkan penyidik dan komisioner, dan akan ada kriminalisasi jilid sekian," kata Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Yuntho, dalam diskusi publik Populi Center di Menteng, Jakarta, Sabtu, 11 Maret 2017.
Baca:
Perkara E-KTP, ICW: Jangan Hanya Dibongkar, tapi Dituntaskan
Mantan Penasihat KPK Ini Minta Tjahjo Kumolo Stop Proyek E-KTP
Menurut Emerson, KPK tak bisa dibiarkan sendirian menangani kasus korupsi, terutama dalam kasus E-KTP. Pasalnya, banyak nama besar dari kalangan politikus yang diduga terlibat dalam korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu.
Upaya "serangan balasan", ujar dia, bisa berupa tekanan untuk merevisi Undang-Undang KPK. Revisi itu dinilai bisa memperlemah kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. "KPK juga harus melihat gelagat perlawanan dari DPR melalui legislasi."
Baca juga:
KPK Cek Ulang 50 Pejabat Penerima Dana Proyek E-KTP
Pertemuan Jokowi-SBY, Analis Politik: Pertaruhan Besar Politik
Adapun bekas Komisioner KPK Adnan Pandu Praja mengatakan KPK selalu berkomunikasi dengan Presiden, sebelum menetapkan tersangka korupsi. Hal itu menurut dia penting untuk mengantisipasi munculnya guncangan politik saat pengungkapan kasus. "Kami minta bantuan Presiden untuk memberikan perlindungan jika terjadi sesuatu."
Meskipun begitu, Adnan mengatakan bahwa budaya komunikasi antara Presiden dan KPK pada saat ia bertugas, berbeda dengan saat ini. "Untuk penangkapan (pelaku) level supreme (petinggi), kami memberitahu Presiden tapi tak terbuka. Kalau sekarang terbuka," tutur Adnan.
YOHANES PASKALIS
Nama Menteri di Kasus E-KTP, Jokowi: Asas Praduga Tak Bersalah
Jakarta--Presiden Joko Widodo mengedepankan asas praduga tak bersalah
terhadap nama-nama besar yang disebutkan dalam dakwaan perkara korupsi e-KTP yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. "Asas praduga tak bersalah. Sudah, serahkan ke KPK," kata Jokowi, Sabtu, 11 Maret 2017, seusai membuka acara pameran mebel dan kerajinan di JIExpo, Kemayoran, Jakarta.
Daftar nama penerima uang korupsi proyek KTP elektronik itu menyebutkan nama Yasonna M Laoly, Menteri Hukum dan HAM yang sebelumnya anggota Komisi II DPR RI. Presiden berharap proses hukum perkara korupsi itu berjalan dengan benar.
Presiden yakin KPK bisa menyelesaikan kasus itu dengan baik. "Saya yakin KPK bertindak profesional terhadap kasus ini."
Baca:
Proyek e-KTP menghabiskan anggaran negara sebesar Rp5,9 triliun. Kerugian negara akibat korupsi yang melibatkan nama-nama besar itu sekitar Rp2,3 triliun. Duit itu diduga mengalir ke pejabat Kementerian Dalam Negeri dan anggota Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri.
Jokowi mengatakan korupsi e-KTP telah menghasilkan problem besar karena sistem yang ingin dibangun melalui e-KTP menjadi kacau. "Sekarang sistemnya menjadi bubrah semua gara-gara anggarannya dikorupsi." Jika saja program e-KTP terlaksana dengan benar, kata Presiden, akan banyak permasalahan keadministrasian yang terselesaikan. Misalnya urusan paspor, SIM, perpajakan, urusan di perbankan, Pilkada, hingga Pemilihan Presiden.
Baca juga:
Korupsi, kata Presiden, membuat proyek KTP elektronik itu terkendala. Misalnya kekurangan blanko, dan keterlambatan pelaksanaan di sejumlah daerah. Ini tak lain akibat pejabat di Kementerian Dalam Negeri menjadi ragu-ragu mengambil tindakan. "Di Kemendagri sekarang ini semuanya juga ragu-ragu. Resah melakukan sesuatu karena juga takut." Bahkan, ada 32 pejabat Kemendagri yang bolak-balik dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi.
Presiden meminta maaf jika banyaknya kendala membuat proyek e-KTP terhambat. "Kami mohon maaf, karena masih ada problem-problem seperti ini." Proyek senilai hampir Rp6 triliun ini, kata Presiden, pada akhirnya hanya mengubah KTP yang dulunya kertas, sekarang plastik. "Hanya itu saja. Sistemnya lupakan."
Perkara korupsi e-KTP melibatkan sejumlah nama-nama besar. Selain pejabat di Kemendagri, kasus ini melibatkan sejumlah nama-nama pejabat yang pernah duduk di Komisi II DPR yang menangani pemerintahan dalam negeri.
AMIRULLAH SUHADA