TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pegawai negeri sipil Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Juhri, hadir dalam sidang ke-14 dugaan penodaan agama yang melibatkan calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Ia adalah salah satu anggota Panitia Pengawas Pemilu tingkat kabupaten dalam pemilihan Gubernur Bangka Belitung 2007.
”Waktu itu ada lima pasangan calon. Pak Basuki waktu itu nomor urut 3. Saat itu yang menang adalah nomor urut 4. Sementara Pak Basuki berada di posisi kedua, di posisi pertama adalah pasangan Eko Maulana Ali-Syamsudin Basari,” ujar Juhri di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Maret 2017.
Baca juga: Sidang Ahok, Pengacara Akan Tayangkan Video Kampanye Gus Dur
Sewaktu menjadi anggota Panwaslu, Juhri mengatakan pihaknya mendapatkan sejumlah laporan kecurangan dalam pilkada Bangka Belitung 2007. Waktu itu, pasangan Basuki-Eko Cahyono melaporkan dua hal, yaitu kecurangan politik uang (money politics) dan kecurangan surat suara.
Ketika itu, Juhri mengatakan pihak Ahok melaporkan banyak surat suara tidak didistribusikan ke kantong pemilih potensial bagi pasangan calon nomor urut 3. Selain itu, Juhri mendapat informasi tentang kampanye hitam (black campaign).
”Kejadian lain ada, yaitu black campaign, tidak dilaporkan, cuma diinformasikan. Bentuknya selebaran, isinya untuk pilih pemimpin seakidah,” ujar Juhri. Meski begitu, Juhri mengatakan tidak mengetahui siapa penyebar selebaran tersebut. Juhri menduga selebaran tersebut berasal dari lawan politik.
Simak juga: Begini Sosok Saksi yang Meringankan Ahok di Sidang ke-14
Juhri menuturkan selebaran tersebut ia temukan di masjid-masjid selama masa kampanye berlangsung. Salah satu masjid yang menyebarkan larangan tersebut adalah Masjid Al-Fatah, yang ditemukan pada 26 Februari 2007.
”Lalu kami ambil selebaran. Saat masa tenang, kami juga temukan di jalan dan rumah penduduk. Kami ambil dan musnahkan. Sebagian dibawa ke panwas provinsi,” ujar Juhri.
LARISSA HUDA