TEMPO.CO, Karawang - Sebanyak 15 petani yang berasal dari Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, berjalan kaki menempuh jarak sekitar 77 kilometer ke Istana Negara sejak 14 Maret 2017. Mereka mewakili sekitar 150 petani Blok Kutatandingan yang terlibat sengketa tanah. “Lahan kami telah dirampas,” kata Aris Wiyono, Dewan Pembina Serikat Tani Telukjambe Bersatu, saat dihubungi Tempo Rabu, 15 Maret 2017.
Para petani itu hendak mengadu ke Presiden Joko Widodo. Ratusan petani lain akan menyusul pada Kamis, 16 Maret 2017, dan berencana tak pulang hingga Presiden mau bertemu. Konflik agraria antara petani dan perusahaan di Karawang menyeruak pada 11 Oktober 2016. Ratusan warga, aparat, dan sejumlah petugas keamanan perusahaan sampai terlibat perkelahian.
Baca juga: Pemulihan Terumbu Karang Raja Ampat Butuh 10 Tahun
Petani serta warga naik pitam setelah buldoser perusahaan meratakan kebun dan tanaman. Seusai eksekusi lahan, sebelas petani menjadi tersangka. Para petani yang kecewa berduyun-duyun meninggalkan tanahnya yang digusur. Sebanyak 187 kepala keluarga mengungsi ke Jakarta. Mereka ditampung di tempat terpisah. Selama 34 hari, para petani menginap di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras).
Mereka akhirnya mau dipulangkan Pemerintah Kabupaten Karawang pada Senin, 14 November 2016. Menurut Aris, Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana menjanjikan lahan mereka dikembalikan. “Kami akan menyelesaikan sengketa tanah ini,” ucap Aris menirukan Cellica. Rupanya, janji Bupati Karawang ini tak ada perkembangan dalam empat bulan terakhir. “Karena itu, kami nekad menggelar aksi ini.”
Baca juga: Efek Negatif Media Sosial dari Konflik Diet sampai Penampilan
Dalam aksinya, para petani menuntut negara memulangkannya ke lahan yang diakui miliknya. Mereka meminta hak guna bangunan perusahaan dicabut karena dianggap menyengsarakan petani. Petani juga berharap Presiden mau menemui mereka. Jika Presiden tak menemui dan menjamin kepulangan petani ke lahannya, mereka menolak pulang.
HISYAM LUTHFIANA