TEMPO.CO, Medan - Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) ke-5, yang berlangsung selama lima hari, secara resmi ditutup pada Ahad, 19 Maret 2017. Sebanyak 5.000 masyarakat adat dari 2.332 komunitas hadir dalam kongres yang digelar di Kampung Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara itu.
Petrus Gunawan, masyarakat adat dari Desa Baty Ambar, Kabupaten Lamandao, Kalimantan Tengah, mengatakan kongres tersebut diharapkan bisa menyelamatkan tanah adat di pedalaman. Ia menambahkan, di desanya telah terjadi pengalihan lahan adat untuk perusahaan. Pengalihan tersebut atas izin pejabat daerah yang mengeluarkan aspek legal formal kepada perusahaan.
"Banyak hak-hak kami yang dirampas perusahaan," ujar Petrus, Ahad malam.
Baca: Sengketa Adat, Aliansi Masyarakat Adat: Pemerintah Sering Lamban
Ihwal kasus itu, Petrus berharap semua permasalahan yang dialami masyarakat adat di Desa Kampar cepat selesai. "Dengan adanya KMAN, semoga posisi kami semakin kuat dan kami bisa memberikan perlawanan juga secara hukum," ujar lelaki yang menyebutkan ada 37 komunitas masyarakat adat di Kabupaten Lamandao itu.
Masyarakat adat lain, Charles Imbir, berharap pemerintah melalui KMAN bisa mengakui kehadiran masyarakat adat. "Pemerintah bisa sadar kalau negara ini bisa terjadi karena ada masyarakat adat. Karena yang punya hak atas tanah adalah masyarakat adat," kata Charles, yang merupakan anggota Komunitas Wawiyai, Sorong Raya, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Charles menilai, selama ini, permasalahan masyarakat adat di Indonesian relatif sama, yaitu tidak mendapat pengakuan layak, khususnya dari pemerintah. Masyarakat adat selalu dimarginalkan kepentingan pemerintah, yang mengatasnamakan pembangunan negara.
Baca: 10 Tahun Dialog Masyarakat Adat dan Pemerintah, Hasilnya Minim?
Padahal, menurut Charles, masyarakat adat tidak pernah anti terhadap pembangunan. Justru masyarakat adat selalu bersedia mendukung asalkan pemerintah mempunyai iktikad baik melibatkan masyarakat adat.
Selain itu, pria berumur 36 tahun tersebut berharap KMAN dapat mendorong pemerintah segera mengesahkan peraturan undang-undang tentang masyarakat adat. "Sejak lahir, kami tidak pernah beli tanah, tidak pernah beli pohon, tidak pernah beli buah, tidak pernah beli hewan. Itu hak kami, itu tersedia di atas tanah kami," kata Charles.
Namun, meski begitu, Charles mengatakan masyarakat adat tidak anti terhadap pendatang. Semua warga negara boleh hadir dan menetap di tanah adat mereka. Asalkan para pendatang memahami budaya dan mengerti di mana posisi yang bisa dikelola.
IIL ASKAR MONDZA
Baca: Jokowi Minta Hasil Kongres Masyarakat Adat Disampaikan Langsung