TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens, menyatakan radikalisme saat ini merupakan musuh terbesar masyarakat di Tanah Air.
"Sekarang perang kita bukan lagi melawan Malaysia atau Singapura, melainkan perang melawan ideologi-ideologi yang mengacuhkan kemanusiaan, seperti radikalisme," ujarnya, dalam diskusi bertema “Merawat Kebangsaan”, yang digelar di Jakarta, Senin, 20 Maret 2017.
Baca: Pertemuan Ulama NU di Rembang, Apa yang Dibicarakan?
Menurut dia, kekuatan asing tidak hanya membawa pengaruh pada aspek ekonomi dan politik di Indonesia. Boni menilai, radikalisme yang saat ini menyebar di Indonesia merupakan ajaran yang ditularkan dari luar negeri.
"Khusus dalam pilkada DKI Jakarta ini, kami amati banyak sekali propaganda di rumah ibadah dan berbagai komunitas yang terus meneriakkan anti terhadap nonmuslim, yang merupakan suatu perlakuan radikal," tutur Boni.
Tindakan tersebut, kata dia, merupakan pembelajaran yang sangat buruk untuk generasi ke depan. "Karena itu, saya menganggap ini ancaman serius bagi eksistensi suatu bangsa," ujarnya.
Baca: Kisah Cinta Unik Pemuda Madiun yang Menikahi Janda 67 Tahun
Boni mengajak publik mulai meninggalkan budaya silent majority, yaitu sebagian besar masyarakat hanya memilih diam walaupun menyadari banyak tindakan radikal.
Menurut dia, anti-radikalisme harus disuarakan. Dari 250 juta penduduk Indonesia, Boni memprediksi, apabila sekitar lima hingga 10 juta merupakan kaum radikal yang setiap hari secara sistematis membuat kekacauan, "Kita yang 240 juta itu, yang hanya tidur nyenyak, akan 'tumbang' semua," katanya.
ANTARA