TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia membutuhkan alokasi pendanaan hingga US$ 70 miliar atau sekitar Rp 930,8 triliun setiap tahunnya untuk pembangunan infrastruktur. Saat ini, pemerintah masih memerlukan setidaknya US$ 50 miliar setiap tahun untuk menutup gap atau kesenjangan kebutuhan pendanaan tersebut.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wismana Adi Suryabrata mengatakan angka US$ 70 miliar merupakan baseline. Sedangkan ketika aspek biaya perubahan iklim ikut diperhitungkan jumlahnya meningkat menjadi US$ 74 miliar. "Angka ini mirip dengan perkiraan pemerintah US$ 73 miliar untuk kebutuhan infrastruktur," ujar dia, di Grand Hyatt, Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017.
Baca: 19 Infrastruktur Jadi Proyek Baru Strategis Nasional
Menurut Wismana, untuk memenuhi kebutuhan pendanaan proyek infrastruktur itu, pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan termasuk bekerja sama dengan investor atau pihak swasta. "Tidak mungkin gap hanya ditutup dari pinjaman pemerintah." Menurut dia, sektor swasta harus terus dioptimalkan perannya dalam pembangunan, khususnya untuk kebutuhan permodalan.
Vice President Asian Development Bank (ADB) Bambang Susantono mengungkapkan pinjaman dana yang digelontorkan oleh perbankan saat ini juga belum mampu memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur Asia. Sebab, kebutuhan pendanaan infrastruktur sangat besar, sehingga dibutuhkan sinergi dengan pihak swasta. "Kalau semua bank dikumpulkan hanya 2,5 persen dari seluruh kebutuhan infrastruktur, Cina tidak termasuk," katanya.
Simak: Pemerintah Buka Kesempatan Swasta Berinvestasi di ...
ADP saat ini telah berkomitmen untuk mengucurkan pinjaman US$ 2 miliar setiap tahun kepada Indonesia, untuk periode lima tahun atau hingga 2019 mendatang. Total pinjaman US$ 10 miliar digunakan untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur Indonesia. Adapun pembangunan infrastruktur itu meliputi sektor energi, pengembangan kawasan, hingga waduk dan manajemen perairan atau irigasi.
GHOIDA RAHMAH