TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Bina Kelembagaan dan Sumber Daya Jasa Konstruksi Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Yaya Supriyatna Sumadinata mengatakan ada beberapa hal baru dari revisi undang-undang tentang jasa konstruksi. Salah satunya tentang standar keselamatan produk konstruksi.
"Dulu kan hanya mengenal K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Itu kan tentang bagaimana melakukan pekerjaan," kata Yaya saat ditemui di DPR RI, Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017.
Yaya menuturkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 bukan lagi mengatur K3, tapi mengenai keamanan, keselamatan, kesehatan, dan berkelanjutan dari konstruksi ini. Sehingga yang diatur bukan lagi si pekerja, melainkan produk konstruksi yang dibangun.
Baca: Kementerian PUPR Bidik Sertifikasi 3 Juta Pekerja Konstruksi
Yaya menjelaskan, standar-standar itu harus dilakukan karena dinyatakan dalam undang-undang. Untuk menghasilkan produk konstruksi berkualitas harus memperhatikan keempat aspek di atas. "Ini penting agar produknya bisa dipelihara dan dipakai."
Ketika ditanyakan mengenai kontraktor yang tak bisa menjalankan aspek di atas, Yaya menyebutkan hal itu akan diselesaikan dengan melihat kontrak yang ada, yaitu melalui hukum perdata. Dia menambahkan, dalam konstruksi ada yang disebut masa penjaminan. Jadi, jika ada kegagalan pembangunan, selama masa itulah baru disebut gagal.
Simak: 2.250 TK Konstruksi Ikut Sertifikasi Kementerian PUPR
Masalah hukum ini akan diselesaikan di dalam komite yang disebut Dewan Sengketa. Dewan Sengketa merupakan sebuah dewan yang berisikan pengguna jasa konstruksi dan penyedia jasa konstruksi. "Kalau ada perselisihan kontrak, diselesaikan di sana," ujar Yaya.
Menurut Yaya, dengan adanya Dewan Sengketa, masalah bisa lebih cepat diselesaikan karena dewan itu mengikuti pembangunan sejak awal. "Masalahnya kan hukum perdata, bisa lebih cepat selesai di Dewan Sengketa."
DIKO OKTARA