TEMPO.CO, Jakarta - Bisnis taksi online tetap menggiurkan meski sering menemui masalah seperti penolakan supir taksi pangkalan dan belum rampungnya aturan pemerintah. Bisnis taksi online mempunyai prospek yang tidak bisa diremehkan. Apalagi masyarakat tertarik dengan hal baru yang lebih menguntungkan dan kemudahan teknologi semakin berkembang.
Setidaknya hal tersebut terbukti dari dua pemain baru bisnis transportasi berbasis aplikasi, yakni Fine Indonesia dan B-Trans. Fine Indonesia telah mulai uji coba armada di Semarang dan Yogyakarta dengan nama Fine Bike (ojek motor) dan Fine Car (taksi).
Baca : Masyarakat Sesalkan Kenaikan Tarif Angkutan Online
Sebanyak 120 pengemudi ojek dan mobil se-Jabodetabek telah melakukan pelatihan perdana. “Saat ini sudah lebih 5.000 orang yang mengunduh aplikasi Fine Indonesia di Play Store,” kata Diah Kusuma Putri, General Manager Fine Indonesia, Senin 20 Maret 2017 lalu.
Untuk menarik mitra pengemudi, Fine mengiming-imingi penghasilan hingga Rp 15 juta per bulan. Keuntungan tersebut berasal dari pembagian laba, bonus mingguan dan insentif bulanan. Lain lagi dengan PT Borneo Transformasi Nusantara, pemegang merek jasa transportasi berbasis online B-Trans, yang mencari calon pengemudi.
Baca : Ini Tanggapan Dinas Perhubungan DKI Soal Aturan Baru Taksi
B-Trans mengklaim manajemen menawarkan bagi hasil yang menguntungkan ranger dan tarif murah bagi konsumen. Yakni bagi hasil 10 persen untuk operator dan 90 persen untuk pengemudi.
“Kalau tarif ojek dari Banjarmasin ke Bandara Symsudin Noor hanya Rp 23 ribu dan Rp 93 ribu untuk taksi onlinenya. Tapi ini promo saja, mungkin dua-tiga bulan lagi tarif bisa naik,” kata Purwanto, seorang perwakilan manajemen B-Trans.
PT Borneo Transformasi Nusantara berambisi menguasai bisnis jasa antarjemput di Kalimantan Selatan setelah merilis aplikasi online B-Trans pada Februari lalu. Sementara ini B-Trans baru melayani daerah Kota Martapura, Banjarbaru, Banjarmasin, dan Peleihari.
Ia mengakui keberadaan B-Trans sempat menuai protes dari pengemudi ojek konvensional. Untuk menekan resistensi ini, manajemen B-Trans merangkul pengemudi ojek konvensional ikut bergabung ke ojek berbasis aplikasi online. “Sebagian ada yang mau dan sebagian menolak,” ujar dia.
Kedua perusahaan aplikasi itu menambah daftar pemain transportasi online yang sudah ada seperti Uber, Grab dan Go-jek. Mereka sama-sama menawarkan tarif yang kompetitif dan lebih murah dari transportasi konvensional. Mulai bulan depan, pemerintah mengatur tarif batas bawah taksi berbasis aplikasi.
Direktur Angkutan dan Multi-Moda Kementerian Perhubungan Cucu Mulyana mengatakan tarif batas bawah taksi online tidak boleh jauh di bawah tarif termurah taksi konvensional. Saat ini, menurut dia, tarif taksi berbasis aplikasi sangat murah lantaran terus menjalankan harga promosi dan subsidi.
Baca : Grab Sesalkan Langkah Pemerintah Revisi Permen No. 32 Tahun 2016
Tak hanya soal penentuan tarif, hingga saat ini perusahaan trasnportasi berbasis aplikasi masih mendapat perlawanan dari pengemudi angkutan lain. Seperti di Bogor, sejumlah trayek angkutan kota (angkot) mogok beroperasi mengangkut penumpang, sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah Kota Bogor.
Baca : Polisi Menghalangi Ratusan Ojek Online Depok yang Mau Masuk Bogor
Pemkot Bogor dinilai tidak tegas menertibkan pengemudi angkutan berbasis online yang semakin marak. Mogok masal tidak mengangkut penumpang itu dilakukan ratusan pengemudi angkot. Aksi mogok menyebabkan penumpang terlantar dan disertai aksi bentrokan.
DIANANTA P. SUMEDI | KHAIRUL ANAM | REZKI | M SIDIK PERMANA