TEMPO.CO, Semarang - Lembaga swadaya masyarakat keadilan meliputi YLBHI - LBH Semarang, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jawa Tengah dan Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia, minta agar petani asal desa Surokonto Wetan, kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah dibebaskan.
Para petani itu divonis hingga 8 tahun karena dituding menyerobot lahan Perhutani sebagai penganti lahan untuk pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang.
Baca juga:
Sengketa Lahan Petani vs PT Semen ...
"Pengadilan Tinggi Jawa Tengah memerintahkan para petani ditahan. Penetapan penahanan tersebut membuat penderitaan para petani semakin berat," kata ketua PBHI Jawa Tengah, Kahar Mualamsyah, Kamis 23 Maret 2017.
Tercatat terdapat tiga petani di Surokonto Wetan, kecamatan Ppageruyung Kabupaten Kendal masing-masing Nur Aziz, Sutrisno Rusmin dan Mujiono divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider tiga bulan kurungan. Mereka dituduh merusak kawasan hutan yang sebelumnya perkebunan terlantar yang kemudian menjadi lahan pengganti milik perhutani yang digunakan PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.
"Para petani masih memiliki keluarga dan anak anak yang membutuhkan sosok seorang ayah, dan juga sebagai tulang punggung keluarga," kata Kahar, menambahkan.
Baca pula:
Kalah di Pengadilan, Petani Ini Dibui 8 Tahun Denda Rp 8 Miliar
Ia mengacu pasal 31 KUHAP bahwa para terpidana yang sedang proses mengajukan banding itu dapat dilakukan penanggguhan penahanan. Kahar menyebutkan ketiga petani yang ia dampingi itu korban kriminalisasi yang berawal dari masalah tanah negara yang dijadikan sebagai lahan tukar menukar lahan perhutani untuk tambang PT Semen Indonesia.
Menurut dia, jauh sebelum kementerian kehutanan menetapkan lahan yang digarap petani sebagai kawasan hutan produksi, masyarakat sudah menggarap lahan tersebut dari tahun 1972. Saat itu PT Sumurpitu dengan HGU yang diterbitkan pemerintah menelantarlkan lahan.
Lembaga swadaya keadilan menilai vonis pengadilan negeri Kendal sebelumnya juga memposisikan hukum menjadi alat untuk menindas kalangan bawah, dan tumpul keatas. Hal itu dibuktikan majelis hakim tidak memahami kondisi sosial masyarakat Surokonto Wetan dan lebih memprioritaskan kepentingan Perhutani yang seringkali tidak memihak masyarakat sekitar hutan.
"Dominasi Perhutani dalam penguasaan hutan di Jawa yang hingga hari ini tidak kunjung mendatangkan kesejahteraan masyarakat kian nyata, bahkan semakin kuat dengan diiringi ancaman nestapa bagi masyarakat,” katanya.
Petani asal Surokonto Wetan, Kaswanto saat berunjuk rasa mendukung rekanya menyatakan tuduhan hakim yang menytakan petani sebagai perusak hutan tak terbukti. "Yang ada hanya lahan pertanian biasa," kata Kaswanto.
Lahan seluas 127,821 hektare itu telah ditanami warga sejak tahun 1970, lahan itu yang dibiarkan terlantar oleh PT Sumur Pitu itu justru diklaim oleh perhutani sejak tahun 2013 untuk ditanami jati. "Padahal selama menanam kami tak pernah diusir karena itu lahan terlantar. Sejak dijual ke PT Semen Indonesia dan jadi pengganti lahan di Rembang, kami dikriminalisasi," katanya.
EDI FAISOL