TEMPO.CO, Jakarta - Tren penggunaan mobile banking yang terus meningkat, menempatkan pertahanan infrastruktur Teknologi Informassi (TI) dari lembaga keuangan lebih berisiko terkena serangan siber. Hal ini juga menyebabkan lembaga keuangan berada di bawah tekanan sehingga dituntut lebih meningkatkan sistem keamanan mereka.
Dalam keterangan tertulisnya Senin, 27 Maret 2017, Kaspersky Lab menyatakan nasabah juga memainkan peranan penting dalam hal pelaporan insiden keamanan. Sekitar seperempat, tepatnya 24 persen lembaga keuangan mengatakan bahwa beberapa ancaman yang dihadapi tahun lalu diidentifikasi dan dilaporkan kepada mereka oleh nasabah.
Baca: Medsos Marak Hoax, Direktorat Cyber Crime Bakal Tambah Personel
Penelitian dari Kaspersky Lab dan B2B International mengenai Financial Institutions Security Risks, investasi keamanan menjadi prioritas utama bagi perbankan dan lembaga keuangan. "Konsekuensi yang mereka terima dari serangan siber, baik kepada infrastruktur serta nasabah, menyebabkan perbankan harus mengeluarkan dana tiga kali lebih besar untuk keamanan TI jika dibandingkan dengan lembaga non-keuangan," ungkap laporan Kaspersky Lab tersebut.
Selain itu, 64 persen dari perbankan mengakui bahwa mereka akan berinvestasi untuk meningkatkan keamanan TI, terlepas dari laba atas investasi (ROI), dalam rangka memenuhi tuntutan yang terus meningkat dari regulator pemerintah, pimpinan manajemen serta pelanggan mereka.
Baca: Tersangka Dunia Maya yang Tidak Dipidana Dijadikan Agen Polisi
Meskipun perbankan telah mengalokasikan anggaran serta upaya yang serius demi menjaga perimeter mereka dari ancaman siber, baik yang dikenal maupun tidak dikenal, kenyataannya memberikan perlindungan bagi luasnya infrastruktur TI yang sekarang ada, yakni tradisional ke khusus, ATM dan Point-of-Sale terminal, terbukti sangat sulit.
"Lanskap ancaman yang luas dan selalu berubah, ditambah tantangan untuk memperbaiki kebiasaan nasabah supaya berprilaku aman, memberikan berbagai macam kerentanan bagi pelaku kejahatan siber untuk mereka eksploitasi," ungkap laporan tersebut.
Laporan ini juga menyoroti tentang bermunculannya risiko yang berkaitan dengan mobile banking sebagai sebuah tren yang mengekspos perbankan terhadap ancaman siber terbaru.
"Sebanyak 42 persen perbankan memprediksi bahwa mayoritas nasabah mereka akan menggunakan mobile banking dalam jangka waktu tiga tahun, namun perbankan juga mengakui bahwa nasabah terkadang terlalu ceroboh dalam perilaku online mereka," ungkap laporan tersebut.
Mayoritas perbankan yang disurvei mengakui (46 persen) bahwa nasabah mereka sering diserang aksi kejahatan phishing, dimana 70 persen perbankan juga melaporkan insiden penipuan keuangan sebagai akibatnya, sehingga menyebabkan kerugian keuangan.