TEMPO.CO, Jakarta – PT PLN (Persero) membukukan laba bersih sebesar Rp 10,5 triliun. Angka tersebut turun 32,69 persen dibanding laba bersih pada 2015, yang sebesar Rp 15,6 triliun.
Menurut Direktur Perencanaan Korporat PLN Nicke Widyawati penurunan laba terjadi karena PLN mengikuti tax amnesty atau pengampunan pajak dalam menyukseskan program pemerintah. Selain itu, PLN berusaha memberikan tarif kompetitif bagi masyarakat dan dunia usaha. “Sehingga beban pajak 2016 meningkat cukup signifikan,” tutur Nicke di Kantor Pusat PLN, Melawai, Jakarta Selatan, Rabu, 5 April 2017.
Baca: Tax Amnesty & SPT, Ini 2 Regulasi Baru dari Ditjen Pajak
Dalam laporan keuangan, beban pajak PLN pada 2016 meningkat menjadi sebesar Rp 24 triliun. Beban pajak tersebut naik drastis 129,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, yang justru mencatatkan pendapatan pajak sebesar Rp 18,64 triliun.
Seiring dengan meningkatnya produksi listrik, beban usaha perusahaan juga naik sebesar Rp 8,2 triliun atau 3,32 persen menjadi Rp 254,4 triliun dibanding pada periode yang sama tahun lalu, yang sebesar Rp 246,3 triliun. Pertumbuhan beban usaha tahun 2016 lebih kecil dibanding pertumbuhan kWh jual karena PLN terus melakukan program efisiensi melalui substitusi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan penggunaan batu bara/energi primer lain yang lebih murah, dan pengendalian biaya
bukan bahan bakar.
Meski demikian, sepanjang 2016, perseroan mencapai realisasi kinerja operasi yang lebih baik dibanding pada tahun sebelumnya. Nilai penjualan tenaga listrik PLN selama 2016 naik Rp 4,3 triliun atau meningkat 2,05 persen menjadi Rp 214,1 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 209,8 triliun.
Baca: Direktur Utama PLN Sebut Tarif Listrik Tidak Naik, Tapi...
Sepanjang 2016, PLN juga menekan harga jual tenaga listrik sehingga bisa menjual lebih murah listriknya kepada pelanggan dibanding pada 2015. Pada 2016, harga jual rata-rata Rp 994 per kWh atau turun Rp 41 per kWh dari Rp 1.035 per kWh pada 2015. “Penurunan harga jual ini masih bisa diimbangi oleh efisiensi internal PLN sehingga tidak terlalu menggerus laba,” tutur Nicke.
Efisiensi terbesar terlihat dari berkurangnya biaya bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 12,3 triliun sehingga pada 2016 menjadi Rp 22,8 triliun atau 35,03 persen dari tahun sebelumnya Rp 35,0 triliun. Terutama karena penurunan konsumsi BBM 0,8 juta kiloliter, sehingga volume pemakaian sampai 2016 sebesar 4,7 juta kiloliter. Adapun EBiTDA 2016 sebesar Rp 57,99 triliun, naik sebesar Rp 6,5 triliun dibanding 2015, yang sebesar Rp 51,49 triliun.
Dengan dilakukannya revaluasi aset per 31 Desember 2015, total aset dan ekuitas perseroan pada akhir 2015 meningkat sekitar Rp 650 triliun atau masing-masing meningkat sebesar 227 persen dan 453 persen. “Revaluasi aset telah meningkatkan solvabilitas perseroan sehingga menambah ruang kapasitas pinjaman guna mendukung program 35 ribu MW,” ucap Nicke.
DESTRIANITA