TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian merekomendasikan perlunya mengkaji usulan tata niaga dan menerbitkan Instruksi Presiden untuk membekukan penerbitan peraturan tata niaga baru pada 15 kementerian lembaga. Rekomendasi itu digulirkan karena pemerintah akan menghapus regulasi yang tidak sesuai dengan semangat deregulasi.
“Pada tahun pertama deregulasi, peraturan tata niaga itu menurun. Namun tahun 2016, dia naik lagi bahkan lebih tinggi dari sebelum pelaksanaan deregulasi,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam keterangan
tertulisnya, Rabu, 5 April 2017. Kementerian pun merekomendasikan perlunya mengevaluasi regulasi ekspor impor yang berjalan. Selain itu merasionalisasi peraturan, menghilangkan duplikasi, dan pengurangan tata niaga.
Baca: Paket Kebijakan Ekonomi ke-15 tentang Logistik Disiapkan
Darmin mengatakan ada sebanyak 23 regulasi tata niaga yang menjadi ketentuan larangan terbatas (Lartas) impor dan ekspor yang terbit dalam masa paket kebijakan ekonomi (PKE). Jumlah itu ada yang tidak terkoordinasi dengan Satgas
Deregulasi maupun yang sifatnya melengkapi pelaksanaan PKE. “Bentuknya bisa macam-macam, ada yang rekomendasi. Kalau tidak ada itu, tidak jalan (usahanya),” kata dia.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomian Edy Putra Irawady menyebutkan ada 12 peraturan yang merupakan Lartas baru. Dari 12 peraturan, 9 di antaranya belum sesuai dengan arahan PKE. “Juga ada sebelas peraturan Lartas bukan dalam rangka PKE, lima di antaranya bersifat restriktif,” katanya.
Dari Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2017, posisi Lartas di Indonesia sebesar 51 persen dari 10.826 pos tarif Harmonized System (HS) barang impor yang tata niaganya diatur oleh 15 kementerian lembaga sebagai ketentuan Lartas.
Sementara itu, rata-rata negara ASEAN memiliki ketentuan Lartas hanya sebesar 17 persen. Sebab, dalam ketentuan Lartas masing-masing kementerian lembaga memberlakukan syarat edar (perlindungan konsumen) menjadi syarat impor, seperti
Standard Nasional Indonesia (SNI) dan Surat Keterangan Impir Badan Pengawas Obat dan Makanan (SKI BPOM).
Simak: Kalla: Penghematan Karena Penggunaan Anggaran Tidak Hemat
Di samping itu, terdapat 18 kasus tata niaga yang kalah dalam sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebab, telah melanggar ketentuan import licensing dan komitmen internasional untuk mentransformasikan non tariff barriers menjadi
tarif dengan ikatan maksimal tarif 40 persen. Sehingga beberapa rekomendasi itu perlu dilakukan.
DANANG FIRMANTO