TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum membantah menikmati aliran dana korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Ia mengatakan kronologi aliran dana yang tercantum di dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi tidak logis.
Dalam dakwaan jaksa, Anas disebut menerima uang US$ 2 juta pada April 2010. Uang itu ia gunakan untuk membayar biaya akomodasi kongres Partai Demokrat di Bandung.
Baca juga: Sidang E-KTP, Anas Minta Dipertemukan dengan Nazaruddin
Menurut Anas, dalam surat dakwaan itu jaksa juga menyebut Kementerian Dalam Negeri baru mengusulkan soal e-KTP pada Mei 2010. Pembahasan intensif baru dilaksanakan pada Agustus dan September 2010. "Bagaimana ada uang yang keluar di bulan April sebelum diajukan?" kata Anas di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 6 April 2017.
Anas juga merasa aneh ketika surat dakwaan menyebut bagi-bagi uang dilakukan pada September 2010. Namun uang yang ia terima diberikan pada April 2010. Terlebih, saat diserahkan, uang itu diletakkan begitu saja di ruang bendahara Fraksi Demokrat. "Saya kira mudah dilacak dengan CCTV waktu itu apa betul ada uang Rp 20 miliar, kira-kira berapa koper yang diantar ke ruang bendahara fraksi," ucapnya.
Anas mengatakan pernah dicecar ihwal uang untuk kongres yang serupa dalam persidangan sebelumnya. Narapidana korupsi Hambalang ini menjelaskan, pada sidang perkara yang lain, ia sudah membeberkan secara detail sumber dana yang digunakan untuk kongres.
Simak pula: Sidang E-KTP, Anas: Daun Jambu Aja Enggak Ada, Apalagi Uang
Menurut Anas, dana yang digunakan untuk kongres berasal dari iuran bersama antar-relawan. "Dari e-KTP saya pastikan tidak ada," katanya.
Selain itu, ia merasa heran namanya disebut-sebut turut membahas proyek e-KTP. Sebab, kata dia, sejak Juni 2010 ia sudah mundur dari anggota DPR lantaran terpilih sebagai Ketua Fraksi Demokrat.
Anas juga membantah pernah ikut dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan Andi Agustinus, pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri sekaligus tersangka dalam korupsi ini, untuk membahas pembagian uang. "Itu bukan fakta. Itu fitnah, fantasi, atau fiksi," katanya.
MAYA AYU PUSPITASARI