TEMPO.CO, Jakarta - Kualitas udara di Jakarta dan beberapa kota penyangga Ibu Kota terus menurun. Polusi udara di daerah penyangga Jakarta seperti, Gandul, Kukusan (Depok); Jonggol (Bogor); dan Jatibening (Kota Bekasi) berada di atas ambang batas bagi manusia.
Berdasarkan pemantauan Greenpeace Indonesia di 19 titik di Jakarta dan kota-kota penyangga pada Februari-Maret lalu menunjukkan buruknya kualitas udara. Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menuturkan polusi udara paling parah terjadi di Cibubur, Jakarta Timur.
Baca: Udara di Jakarta Utara Paling Tidak Sehat
Di sana, rata-rata polutan yang berasal dari particulate matter (PM) 2,5 mencapai 103,2 mikro gram per meter kubik (µg/m3). “Itu jauh dari batasan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, yaitu 25 µg/m3,” tuturnya dalam acara “Diskusi Polusi Udara di Jabodetabek”, kemarin.
Bondan menjelaskan dari 19 lokasi pemantauan, tidak ada satu pun daerah yang kualitas udaranya memenuhi standard WHO atau aman bagi manusia. Padahal, beberapa lokasi yang dipantau oleh Greenpeace Indonesia seperti Cibubur, Kebagusan (Jakarta Selatan), dan Depok memiliki banyak ruang terbuka hijau.
Bondan mengungkapkan polutan PM 2,5 sangat berbahaya bagi kesehatan. Polutan itu sangat kecil, ukurannya satu per 30 (1/30) dari satu helai rambut, dan bisa memnyebabkan berbagai penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut, jantung, kanker paru-paru, hingga stroke. “PM 2,5 adalah polutan yang diam-diam bisa membunuh manusia,” ujarnya.
Bondan mengatakan PM 2,5 dihasilkan dari sisa pembakaran bahan bakar kendaraan, industri, hingga pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil. PM 2,5 juga tak bisa dihilangkan dan diserap oleh tumbuhan.
Bondan mengimbau pemerintah Jakarta dan kota penyangga lainnya untuk bisa mengurangi sumber-sumber polutan seperti memperbaiki fasilitas angkutan umum agar masyarakat meninggalkan kendaraan pribadinya. Selain itu, pemerintah juga bisa mulai beralih dari bahan bakar fosil ke bahan bakar lain yang ramah lingkungan.
Dokter Spesialis Jantung dan Kardiologis Djoko Maryono mengungkapkan buruknya kualitas udara di Jakarta dan beberapa daerah penyangga menyebabkan masyarakat mudah terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut, jantung koroner hingga stroke. Bahkan, polusi udara, juga bisa mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah di jantung atau otak. “Tiga puluh persen penyebab kematian ialah karena penyumbatan pembuluh darah,” ujarnya.
Menurut Djoko, berdasarkan kajian Greenpeace Indonesia, warga Cibubur berpotensi mengidap penyakit seperti paru kronis, 38 persen; jantung (104 persen); kanker paru-paru (54 persen); dan stroke (148 persen). Namun, potensi penyakit-penyakit itu bisa dihindari, salah satunya dengan adanya udara yang bersih.
Djoko mengimbau masyarakat untuk terus memantau kualitas udara di sekitarnya. Masyarakat yang hendak beraktivitas di luar ruangan atau bepergian sebaiknya menggunakan masker N95. Masker N95 bisa menyaring PM 2,5 agar tidak masuk saluran pernapasan.
Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Andono Warih mengatakan pemerintah Jakarta telah memiliki rencana untuk menurunkan emisi rumah kaca. “Kami memiliki target penurunan emisi rumah kaca sampai 30 persen,” ujarnya.
Salah satu cara untuk mengurangi emisi itu, kata Andono, ialah dengan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Dia mencontohkan, Bus Transjakarta, saat ini sudah banyak yang menggunakan bahan bakar gas (BBG).
Baca juga: Greenpeace Luncurkan Aplikasi Pemantau Kualitas Udara
Selain itu, tutur Andono, pemerintah Jakarta juga tengah mengebut pembangunan sarana transportasi massal seperti light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT). “Tujuannya agar masyarakat mau meninggalkan kendaraan pribadinya,” ujarnya.
GANGSAR PARIKESIT