TEMPO.CO, Ponorogo – Tim tanggap darurat bencana tanah longsor masih mendata warga yang bakal menempati rumah penampungan sementara di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Sejak musibah terjadi pada Sabtu, 1 April lalu, mereka mengungsi di sejumlah rumah warga yang dianggap aman.
“Malam nanti, akan kami rapatkan dengan pamong dan kepala desa tentang siapa-siapanya yang pindah ke sana (penampungan sementara),” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ponorogo, Sumani, Selasa, 11 April 2017.
Baca: Seperti Ponorogo, Usai Longsor Nganjuk Diancam Banjir Bandang
Rumah penampungan sementara itu berdiri di dua lokasi, yakni berjarak 500 meter dan sekitar 800 meter dari titik nol longsor. Sejak Sabtu pekan lalu hingga Selasa sore, personel TNI Angkatan Darat dan warga masih melakukan pembangunan. Adapun pencapaiannya telah mencapai lebih dari 60 persen.
“Yang satu (dengan lokasi) di bawah tinggal memplester lantai. Kalau yang di atas baru memasang atap,’’ Sumani menjelaskan.
Ia memperkirakan, dua rumah penampungan sementara itu dapat ditempati 19 kepala keluarga (KK) Rabu, 12 April 2017. Hingga kini, mereka yang rumahnya hancur diterjang tanah longsor masih mengungsi di sejumlah lokasi.
“Fokus kami ke sana (pembangunan rumah penampungan sementara). Kalau untuk normalisasi pascalongsor susulan masih menunggu waktu yang memungkinkan,’’ tutur Sumani.
Baca: Sebagian Pengungsi Tanah Retak di Ponorogo Pindah ke Lokasi Aman
Longsor susulan terjadi pada Ahad, 9 April 2017 ketika tim SAR gabungan tengah melakukan pencarian 24 korban tertimbun tanah. Peristiwa itu mengakibatkan dua rumah warga hancur diterjang tanah yang bergerak turun dari sektor A hingga sektor D lokasi bencana.
Selain itu, satu mobil pengangkut anjing pelacak, satu mobik milik relawan, satu ekskavator, tiga alat penyemprot airan dan alat komunikasi tim SAR gabungan tertimbun material longsor. “Untuk ekskavator tidak bisa dievakuasi dan pemiliknya (perorangan) menyatakan, alat berat itu ada asuransinya,’’ ujar Sumani.
Sutini, 45 tahun, salah seorang warga Desa Banaran menyatakan tidak nyaman tinggal di pengungsian. Sejak bencana longsor terjadi, ia tinggal di rumah saudaranya yang jauh dari lokasi bencana.
“Saya nggak betah tinggal di pengungsian karena setiap hari hanya duduk-duduk,’’ ujar perempuan yang suaminya, Kateno, 55 tahun, menjadi salah satu korban tertimbun dan tidak ditemukan.
Baca: Longsor Nganjuk, Perhutani: Akibat Salah Kelola Hutan
Sebelum bencana terjadi, keseharian Sutini mengurus sapi dan kambing di rumahnya. Ketika berada di pengungsian, waktunya habis untuk duduk-duduk sambil berbincang dengan pengungsi lain. Meski kebutuhan makan sudah tersedia dari bantuan, ia ingin aktivitasnya kembali normal.
NOFIKA DIAN NUGROHO