TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), Kartika Wirjoatmodjo, meminta agar implementasi pertukaran data informasi perpajakan (automatic exchange of information/AEoI) sebaiknya hanya untuk data yang mencurigakan. Dengan begitu tidak semua data bisa dilakukan pertukaran dan dianalisis.
"Harapannya buka data itu ada triggernya, tak semua data disedot," kata Kartika saat ditemui di Hotel Ritz Carlton, SCBD, Jakarta, Kamis, 13 April 2017.
Kartika menuturkan di Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah berjalan sistem anti pencucian uang, di mana ada pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan. Di sistem kerja PPATK, harus ada pemicu kenapa data tersebut dianalisis. "Jadi tak semua data dikirim."
Baca : Ditjen Pajak Kunjungi Otoritas Jepang Bahas Pertukaran Informasi
Menurut Kartika pihaknya sudah menyampaikan hal tersebut ke Kementerian Keuangan, kalau tak ada trigger yang memicu pengambilan data maka penggunaan data tersebut akan menimbulkan keresahan. Jika ada indikasi awal penghindaran pajak, nasabah akan lebih mengerti. "Karena ada penarikan data yang ada kecurigaan."
Kartika mencontohkan trigger bagi PPATK adalah jika ada orang dengan gaji Rp 10 juta, tiba-tiba dapat uang Rp 1 milliar. "Kan ada triggernya, tergantung triggernya pajak, apa yang mau dicek," ucapnya.
Kartika mengungkapkan trigger tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Direktur Jenderal Pajak, apakah karakternya nanti akan beda atau sama dengan pencucian uang. "Perlu pembahasan soal ada trigger apa."
Mengenai data dari warga negara asing, Kartika menjawab hal tersebut wajib sudah ada pada 2018 mendatang karena sudah disepakati di forum G20. "Kalau WNA ada kewajiban AEoI 2018 dilaporkan, kalau domestik beda, saya belum tahu apakah peraturan pemerintah akan mengatur dua-duanya," tuturnya.
DIKO OKTARA