TEMPO.CO, Jakarta - Pepatah yang menyebutkan, bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh mungkin tepat dilekatkan kepada bank perkreditan rakyat.
Persatuan alias merger sejumlah bank prekreditan rakyat (BPR) dapat membawa manfaat tersendiri, misalnya efisiensi biaya operasional dan size-nya menjadi lebih besar. Sejauh ini, masih ada sekitar sepuluh BPR dengan aset kurang dari Rp1 miliar.
Baca: LPS Pertahankan Tingkat Bunga Penjaminan
Kini jumlah bank perkreditan rakyat yang ada di Indonesia mencapai 1.633 bank. Setiap tahun ada saja BPR yang dilikuidasi, meskipun jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan keseluruhan populasi.
Executive Vice President (EVP) Lembaga Penjamin Simpanan Poltak L. Tobing mengatakan, sampai dengan 7 Maret 2017 terdapat 79 bank yang dilikuidasi LPS terdiri dari satu bank umum, 73 BPR, dan lima BPR Syariah. Adapun dari 79 bank dalam likuidasi (BDL) sejumlah 63 di antaranya sudah menyelesaikan proses likuidasi.
“Bank-bank dalam likuidasi sejauh ini paling banyak berada di Provinsi Jawa Barat mencapai 20 bank diikuti Jabodetabek dan Banten 19 bank, kemudian Sumatra Barat 14 bank,” ucap Poltak.
Guna merampingkan populasi BPR, LPS menyatakan, opsi merger bisa dilakukan. Jumlah bank perkreditan rakyat saat inipun sebetulnya hasil dari penggabungan sejumlah BPR dalam skala yang lebih kecil pada era 2007 – 2008.
Namun demikian, merger tidak begitu saja bisa dilakukan. “Bisa merger kalau kulturnya sama, bisnisnya serupa, dan sistemnya mirip. Yang pasti, untuk merger banyak yang harus dipelajari dari masing-masing bank,” tutur Poltak.
Baca: Menteri Riset Katakan Bangka Belitung Layak Dibangun PLTN
Dalam suatu wawancara dengan Bisnis belum lama ini, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menolak anggapan banyak BPR sakit. Diakui memang selalu ada BPR yang dilikuidasi setiap tahun namun jumlahnya bisa dihitung pakai jemari tangan.
Oke, katakanlah mayoritas BPR cukup sehat, tetap saja mereka belum sempurna. Tantangan yang tersisa bagi BPR salah satunya soal populasi. Jumlah yang mencapai ribuan membuka peluang untuk dibuat menjadi lebih efisien.
Joko mengatakan, sejatinya secara regulasi memungkinkan untuk dilakukan mer. “Tapi ini tidaklah mudah karena harus menyatukan visi antarpara pemilik BPR,” katanya.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual menuturkan, dari sisi populasi bisa dibilang para BPR sebetulnya saling bersaing ketat satu dengan yang lain.
“Dari sisi jumlahnya, BPR itu bersaing ketat. Untuk memperkuat kinerja BPR, saya rasa mereka bisa saling merger. Kalau dibiarkan terlalu banyak, saya pikir, jadinya akan seleksi alam [bagi yang bertahan],” ucap David saatdihubungi Bisnis.
Seleksi alam akan selalu terjadi. Tapi setiap insan pun pada dasarnya memiliki naluri untuk bertahan. Kalau dalam konteks industri BPR, akankah merger bakal ditempuh guna mempertahankan diri? Kita lihat saja.
BISNIS.COM