TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Irene Putri, mencurigai alasan Kementerian Dalam Negeri enggan mengikuti rekomendasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Irene mengatakan rekomendasi LKPP merupakan pendapat profesional yang sebaiknya dijalankan. Ia menyatakan hal ini seusai sidang lanjutan kasus suap Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 17 April 2017. “Ini bukti Kementerian Dalam Negeri sengaja mengabaikannya,” katanya.
Sidang e-KTP kesepuluh itu menghadirkan enam orang saksi. Namun, karena keterbatasan waktu, hanya dua orang yang memberi kesaksian. Mereka adalah Ketua Tim Teknis Proyek e-KTP Husni Fahmi dan Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP Setya Budi Arijanta. Dalam kesaksiannya, Setya Budi menjelaskan, lembaganya telah beberapa kali memberikan rekomendasi kepada panitia proyek e-KTP, tapi tak dijalankan.
Baca: Begini Kronologi Kementerian Keuangan Loloskan Dana Proyek E-KTP
Salah satu rekomendasi yang diberikan kepada panitia e-KTP adalah pemecahan proyek itu menjadi sembilan lingkup pekerjaan. Panitia akhirnya memutuskan ruang lingkup proyek tersebut hanya satu dan tidak dipecah sama sekali. Irene menilai panitia e-KTP lebih mulus berkoordinasi jika hanya dengan satu ruang lingkup. “Saya juga menduga, dengan hanya satu konsorsium, proyek e-KTP akan lebih mudah dikorupsi,” ujarnya.
Dalam kesaksiannya, Setya Budi mengatakan sudah berkali-kali memberi rekomendasi, tapi tak pernah digubris. Tim LKPP menilai, bila ruang lingkup pekerjaan tidak dibagi, peluang kegagalan akan lebih besar. LKPP juga memberi rekomendasi aanwijzing ulang, yakni pemberian penjelasan dalam pengadaan tender. Setya Budi menilai tahapan aanwijzing, yang dilakukan hanya sekali, menyalahi aturan. "Kami minta aanwijzing ulang, tapi enggak diterima," tuturnya.
Menurut dia, dari pengalaman LKPP, proyek besar seperti e-KTP tidak mungkin bisa dikerjakan hanya dalam jangka waktu dua tahun sesuai dengan prediksi pemerintah. Apalagi proyek ini hanya dikerjakan satu pelaksana. “Bila hanya dua tahun, tidak masuk akal. Minimal membutuhkan waktu lima tahun pengerjaan,” katanya.
Baca: Perangkat Keras Pengadaan E-KTP Sudah Dipesan Sebelum Tandatangan
Setya Budi pun sempat merekomendasikan agar kontrak dengan pengusaha yang berkaitan dengan proyek e-KTP dibatalkan. LKPP, kata dia, sudah mencium adanya kerugian negara saat itu. Dengan demikian, bila tidak dibatalkan, kerugian dikhawatirkan akan semakin besar. Setya Budi juga menjelaskan, selaku ketua pendamping proyek e-KTP, ia tidak dilibatkan dan tidak diberi tahu perkembangan proyek itu oleh panitia. “Kami sudah mengirim surat untuk tanya perkembangannya, tapi tidak ada jawaban,” ujarnya.
Soesilo Aribowo, kuasa hukum terdakwa proyek e-KTP, Irman dan Sugiharto, mengatakan kliennya sudah memberikan surat yang menjelaskan perkembangan proyek itu kepada LKPP sehari setelah lembaga tersebut menanyakan perkembangannya. Ia menilai, sebagai rekomendasi, panitia berhak tidak mengikutinya. “Keputusan untuk satu paket pengerjaan dan melanjutkan proyek itu sudah atas persetujuan Pak Menteri dan semua pihak,” ucapnya.
MAYA AYU PUSPITASARI | MITRA TARIGAN
Baca: Panitia E-KTP Tak Ikuti Saran, LKPP: Sekarang Ketemu di Tipikor