TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka rekaman pemeriksaan, Miryam S. Haryani, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP. DPR mengancam akan menggunakan hak angket untuk memerintahkan rekaman itu dibuka.
Dalam rapat kerja yang berlangsung malam ini, sejumlah anggota dan pimpinan komisi meminta rekaman itu dibuka. Namun KPK berkukuh menolak permintaan ini.
Baca: Setya Novanto Dicekal, Yusril Ihza: DPR Tak Perlu Protes
Saat rapat berlangsung, anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Hanura, Dossy Iskandar, menyarankan DPR menggunakan instrumen yang dapat membuat KPK membuka rekaman itu. "Jika KPK menyatakan tidak bisa, ini harus ditarik ke instrumen parlemen yang memungkinkan bisa yaitu hak menyatakan pendapat atau turun sedikit, hak angket,"
Jelang rapat ditutup dan saat pembacaan rumusan kesimpulan hasil rapat, KPK merasa keberatan dengan poin nomor empat. Di poin itu, DPR meminta pimpinan KPK mengklarifikasi dengan membuka rekaman pemeriksaan Miryam.
Baca: KPK Pastikan 37 Nama Anggota Komisi II DPR Terima Duit E-KTP
"Kami mohon maaf, kami mengharapkan kata-kata di poin empat berakhir di klarifikasi dan menghapuskan membuka rekaman," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Menyikapi sikap dari pimpinan KPK itu, pimpinan rapat Benny K. Harman mempersilakan anggota untuk memberi tanggapan. Mayoritas anggota mendorong agar mengajukan hak angket.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, menuturkan fraksinya setuju untuk mengajukan hak angket. "Kami akan gunakan hak konstitusional kami. Kami menduga ada penyimpangan di sini,"
Fraksi Partai NasDem menuturkan pengajuan hak angket ini diperlukan lantaran ada hal yang tidak normal dalam penyidikan di KPK. "Kami akan gunakan hak konstitusional kami," kata Taufiqulhadi.
Wakil Ketua Komisi Hukum asal fraksi Gerindra, Desmond J. Mahesa, menuturkan hak angket ini untuk memperjelas masalah yang beredar. Terlebih, namanya masuk dalam daftar anggota yang diduga mengancam Miryam. "Dalam rangka memperjelas yang tidak jelas, kami mendukung penggunaan hak angket," ucapnya.
Hal serupa disampaikan pula oleh Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani. Menurut dia, KPK bisa saja membuka sebagian rekaman pemeriksaan, tidak perlu seluruhnya. "Ini jalan tengah yang moderat. Kalau mayoritas fraksi mengeluarkan hak angket, kami juga akan menyetujuinya," ujarnya.
Politikus Partai Golkar Adies Kadier berpendapat sama. KPK tidak perlu membuka semua rekaman, melainkan cukup pada bagian yang menyebutkan nama-nama anggota DPR yang diduga mengancam Miryam. "Kami menyadari posisi dan kehormatan kawan-kawan di Komisi III yang disebut di persidangan," ujarnya.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik turut menyetujui pengguliran hak angket ini. "Kami mempertimbangkan kemungkinan untuk mengajukan hak konstitusional," tuturnya.
Sedangkan fraksi Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Hanura memutuskan untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan pimpinan fraksi sebelum memutuskan sikapnya. Sedangkan fraksi Partai Kebangkitan Bangsa tidak memberikan pendapat karena perwakilannya tidak hadir.
Sementara itu, Agus menyatakan menghormati sikap DPR ini. "Itu hak DPR. Kami tidak bisa menolak," kata dia.
Agus menjelaskan pihaknya berkukuh tidak mau membuka rekaman ini lantaran Miryam saat ini sedang berstatus sebagai tersangka kesaksian palsu. Pemeriksaan terhadap Miryam di kasus ini, kata dia, masih berlangsung. "Kan masih penyidikan, kalau BAP-nya dibuka? Kan belum, dong," ucapnya.
Saat diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, Miryam mengaku diancam enam orang anggota Dewan.
AHMAD FAIZ