TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agus Hermanto belum menerima surat pengajuan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menuturkan surat itu baru diajukan hari ini. Pengajuan hak angket bisa dilakukan setelah diteken minimal 25 anggota dan lebih dari 1 fraksi.
Agus menuturkan pengajuan hak angket ke KPK tersebut membutuhkan beberapa tahapan sebelum disetujui. “Sehingga kalau masalah angket perjalanannya masih cukup jauh,” ujar dia di DPR, Rabu, 26 April 2017.
Baca juga: Hak Angket ke KPK, DPR: Buka Rekaman Miryam Bukan yang Utama
Agus menjelaskan pengajuan hak angket harus disampaikan terlebih dahulu ke pimpinan. Setelah itu pimpinan berkewajiban melanjutkan pengajuan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara peraturan yang ada tersebut harus dibacakan pada paripurna.
Agus melanjutkan sebelum paripurna harus ada Badan Musyawarah yang mengagendakan paripurna. Sedangkan Dewan telah mengagendakan paripurna pada esok hari. “Tetapi tidak mungkin mengagendakan untuk masalah hak angket,” kata Agus.
Menurut Agus, apabila hari ini surat pengajuan hak angket itu masuk maka setelah paripurna harus mengadakan rapat Badan Musyawarah untuk mengagendakan pembacaan hak angket di paripurna. Artinya apabila proses itu berjalan maka kemungkinan hak angket akan dibacakan pada sidang paripurna terakhir yaitu di penutupan masa sidang. “Ya yang akan datang habis reses,” kata Agus.
Pada pembacaan hak angket itu, Agus melanjutkan, harus disampaikan kepada setiap pimpinan fraksi dan seluruh anggota DPR apakah disetujui menjadi angket dari Dewan.
Simak pula: Bambang Soesatyo: Keputusan Hak Angket KPK Tergantung Paripurna
Ketua Komisi Hukum DPR Bambang Soesatyo mengatakan, meski hak angket melekat pada setiap anggota Dewan, namun kewenangan penggunaannya tergantung kebijakan fraksi. Sebab, rencana Komisi Hukum DPR menggulirkan hak angket kepada KPK akan diputuskan dalam rapat paripurna.
Komisi Hukum berencana menggulirkan hak angket lantaran beberapa anggotanya diduga menekan Miryam S. Haryani, saksi dalam kasus korupsi e-KTP itu, agar tidak memberikan keterangan sebenarnya. Lewat hak angket ini, DPR meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam yang menyebut nama-nama anggota tersebut.
Namun rencana pengajuan hak angket ke KPK mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Salah satunya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka mempertanyakan urgensi penggunaan hak tersebut dalam penyidikan kasus e-KTP.
DANANG FIRMANTO