TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati tujuh dari delapan isu krusial yang masuk dalam Rancangan Undang-undang (RUU) 39/2004 tentang perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pimpinan Panitia Kerja RUU 39/2004 sekaligus Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengatakan isu krusial yang paling pertama mengenai peran daerah.
“Undang-undang terdahulu tidak memberikan peran kepada daerah sehingga semua cenderung menjadi kewenangan swasta,” kata Dede di Gedung DPR RI, Jakarta Selatan, pada Rabu, 26 April 2017. Dengan disepakatinya isu peranan daerah dalam RUU ini, ke depannya pemerintah daerah wajib memberikan informasi maupun advokasi pada calon-calon tenaga kerja.
Baca juga:
Pembahasan RUU Perlindungan TKI Alot, BNP2TKI Bicara
Pemerintah dan DPR juga sepakat bahwa perlu adanya Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) di setiap kabupaten yang menjadi daerah-daerah penghasil calon TKI. Pada setiap LTSP tersebut, nantinya akan diletakkan petugas imigrasi.
Isu berikutnya mengenai pelatihan calon tenaga kerja. Pelatihan yang selama ini masih dibebankan kepada swasta, akan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah jika RUU mengenai Perlindungan TKI ini disahkan. Dede menerangkan, pelatihan yang dimaksud merupakan pelatihan vokasi atau keahlian. Calon tenaga kerja pun berhak untuk memilih tempat tujuan bekerjanya dan jenis pelatihan yang akan diikuti. Konsekuensi yang ditanggung pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan bagi TKI tentunya anggaran dana untuk pendidikan vokasi tersebut.
Baca pula:
RUU Perlindungan TKI Mandeg, Fahri Hamzah Ungkap Sebabnya
Dede mengatakan untuk mendorong peran daerah dalam proses rekrutmen, DPR dan Pemerintah sepakat untuk membatasi wewenang perusahaan penyalur calon TKI. Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI)—sebagai perusahaan penyalur—hanya diperbolehkan beroperasi di pusat dan mengambil calon-calon tenaga kerja yang sudah terlatih, terdidik, serta terdokumentasi mulai dari daerah. “Jadi fungsi rekrutmen tidak lagi dilakukan oleh perusahaan swasta tapi sudah terjadi dengan sendirinya pada calon-calon tenaga kerja mulai dari daerah,” ujar mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini.
Isu asuransi juga disepakati dalam RUU perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pemerintah dan DPR menunjuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk menjamin asuransi para TKI—yang selama ini selalu ditangani oleh swasta. BPJS Ketenagakerjaan diberi wewenang untuk membuat perluasan pelayanan program perlindungan jaminan sosial bagi TKI.
Isu ke enam yang telah disepakati yakni mengenai biaya. Biaya yang selama ini diberikan oleh pihak swasta dengan sistem “beli orang” berpotensi merugikan TKI. “Makanya banyak terjadi perdagangan manusia. Karena sistemnya mereka sudah dipanjar,” kata Dede. Untuk melindungi TKI, DPR dan Pemerintah sepakat, lembaga keuangan yang bisa ikut serta dalam sistem pembiayaan hanyalah yang telah diverifikasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga wajib mengikuti sistem OJK dan bungnya tidak membebankan TKI.
Kemudian DPR dan Pemerintah juga sepakat bahwa sistem pengawasan jalannya Badan Nasional Perlindunga Pekerja Migran Indonesia—sebagai turunan dari RUU perlindungan TKI—akan dijalankan oleh DPR, khususnya Komisi IX.
Hingga kini DPR dan pemerintah masih deadlock pada pembahasan isu mengenai pertanggungjawaban kelembagaan. Dimana Pemerintah menghendaki Badan Nasional Perlindunga Pekerja Migran Indonesia bertanggung jawab kepada Presiden melalui Kementerian Ketenagakerjaan. Sementara DPR mengusulkan agar badan tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden tanpa melalui Kementerian Ketenagakerjaan.
DWI FEBRINA FAJRIN I S. DIAN ANDRYANTO