TEMPO.CO, Yogyakarta - Kepala Pusat Studi Forensika Digital (Pusfid) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Yudi Prayudi menyebutkan peretasan yang dialami situs Telkomsel pada 28 April 2017 lalu disebut Hacktivist. Tindakan itu ditandai dengan perubahan website resmi menjadi tampilan pesan bernada protes, yaitu protes terhadap tarif internet Telkomsel yang mahal. Sedangkan teknik mengubah tampilan awal menjadi tampilan dengan pesan tertentu disebut dengan teknik web defacement.
“Jadi hacktivist itu sebuah gerakan mengekpresikan kekecewaan, pesan moral, pesan politik dari seseorang atau kelompok lewat teknik hacking computer,” tulis Yudi melalui siaran pers yang diterima Tempo, Ahad, 30 April 2017 dini hari.
Baca juga:
Situs Telkomsel Diretas, Manajemen Minta Maaf ke Pelanggan
Beberapa teknik hacking untuk mendukung Hacktivist antara lain web defacement atau melakukan akses ilegal ke dalam website untuk melakukan perubahan konten sebagai pesan yang ingin disampaikan. Ada juga virtual sabotage, yaitu pesan yang ingin disampaikan dikirimkan lewat penyebaran malware.
Site redirection adalah mengubah alamat web tertentu, sehingga ketika seseorang mengakses web tertentu ternyata yang muncul adalah web lainnya. Pada web lain inilah pesan yang ingin disampaikan dimunculkan. Site parodies, yaitu membuat situs plesetan dengan konten berisi pesan-pesan yang ingin disampaikan.
Virtual sit-ins, yaitu partisipasi atau dukungan langsung terhadap sebuah aktivitas protes melalui representasi tertentu, misalnya menekan 'yes' untuk mendukung atau 'no' tidak mendukung. Virtual sit-ins memiliki makna yang sama dengan petisi online, dimana kekuatan sebuah petisi dilihat dari jumlah dukungan yang diberikan melalui mekanisme tertentu.
“Tindakan hacking pada Telkomsel adalah web defacement,” tulis Yudi.
Tujuan akhir dari gerakan yang sudah ada sejak 2000 itu adalah memobilisasi opini publik terhadap institusi ataupun pemerintah akibat kebijakan-kebijakan yang dirasakan tidak sesuai harapan. Isu umum yang diangkat adalah pencemaran lingkungan hidup, hak asasi manusia, ancaman nuklir, perdagangan manusia, juga pengungsi.
“Terlepas soal pesan yang ingin disampaikan, tindakan web defacement termasuk pelanggaran Pasal 30 UU ITE,” tulis Yudi.
PITO AGUSTIN RUDIANA