TEMPO.CO, Sragen - Suryanto, cucu Sodimejo alias Mbah Gotho, mengatakan pihak keluarga tetap mendoakan arwah Mbah Gotho sesuai dengan tuntutan agama Islam meski kakeknya beragama Kristen. Namun ia mempersilakan pihak gereja menggelar doa untuk kakeknya di rumahnya.
"Simbah memang beragama Kristen, tapi ibu kami (Sukirah) beragama Islam," ujar Suryanto, cucu dari istri keempat Mbah Gotho, saat ditemui Tempo dalam acara pemakaman di Dusun Grasak, Desa Plumbon, Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Senin, 1 Mei 2017.
Baca: Mbah Gotho, Manusia Tertua di Dunia, Sudah Pesan Nisan Sejak 1992
Menurut Suryanto, pihak gereja yang turut mendoakan Mbah Gotho sebelum pemakaman sudah meminta izin untuk menggelar doa bersama untuk kakeknya di rumahnya. “Kami persilakan. Toh, semua doa tujuannya baik, demi keselamatan arwah Simbah,” ucapnya.
Mbah Gotho selama ini dikenal sebagai manusia tertua di dunia. Pria asal Dusun Segeran, Desa Cemeng, Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen, itu diperkirakan berusia 146 tahun. Dalam e-KTP-nya, tertulis tanggal lahir Mbah Gotho 31 Desember 1870.
Suryanto dan keluarganya yang merawat Mbah Gotho mengatakan doa selamatan untuk arwah kakeknya akan digelar sesuai dengan adat Jawa, mulai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, hingga 1.000 hari setelah meninggal.
Nantinya, ucap dia, dalam setiap peringatan itu akan digelar doa bersama membaca Surat Yasin serta tahlil oleh keluarga dan warga di lingkungan sekitarnya. Kendati demikian, tutur Suryanto, keluarganya mempersilakan pihak gereja turut menggelar doa untuk Mbah Gotho di rumahnya.
Baca: Kisah Mbak Gotho, Berumur 145 Tahun dan Sains di Baliknya
Sebelum meninggal, Mbah Gotho sudah berwasiat agar nisan yang sudah dipesannya sejak 1992 langsung dipasang di atas makamnya. Suryanto dan keluarga pun mengikuti wasiatnya. Pemasangan nisan tidak menunggu setelah seribu hari meninggal seperti adat Jawa.
Mbah Gotho dimakamkan di tempat pemakaman umum yang berjarak sekitar 400 meter dari rumahnya. Makam Mbah Gotho bersebelahan dengan makam Sukirah, yang meninggal pada 1992. Dua makam tersebut berada di bawah satu cungkup yang dibangun sejak 1995. “Sejak ibu saya (Sukirah) meninggal, Simbah selalu berharap agar segera dipundhut (dicabut nyawanya),” kata Suryanto.
Tempo pernah mewawancarai Mbah Gotho pada 9 September 2016. Saat itu, Mbah Gotho menuturkan hidupnya sudah tidak berarti selain hanya menunggu mati. “Suket wis ra ono, wit-witan wis ra ono, kewan ra ono, kabeh wis dadi gendhing. Kowe iruh tapi kabeh wis gendhing (Rumput, pepohonan, dan hewan sudah tidak ada. Anda melihat tapi semua sudah jadi gendhing atau tembang),” ujar Mbah Gotho tanpa menjelaskan gendhing yang dimaksud.
DINDA LEO LISTY