TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi Jake Van Der Kamp menganggap konyol ucapan Presiden Joko Widodo mengenai angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jokowi saat kunjungan ke Hong Kong, mengatakan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di peringkat ketiga setelah India dan Cina.
Jake dalam tulisannya kaget dengan pernyataan Jokowi. Musababnya, bagi dia, Indonesia berada di posisi ke-14 se-Asia dengan angka 5,02 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan berada di bawah Timor Leste dan Papua Nugini.
Baca: Istana Bantah Ekonom Asing Soal Data Ekonomi Jokowi
Dilansir dari South China Morning Post, lima negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi se-Asia tertinggi adalah India (7,5 persen), Laos (7,4persen), Myanmar (7,3 persen), Kamboja (7,2 persen), dan Banglades (7,1 persen).
"Indonesia adalah negara berpenduduk padat dengan 261 juta orang. Kita tidak bisa membandingkannya dengan tempat-tempat seperti Timor Leste atau Palau. Jadi mari kita menarik garis di 200 juta orang," tulis Jake dalam opininya yang diunggah Selasa lalu, 2 Mei 2017.
Baca: Jokowi Evaluasi Ratusan Proyek Infrastruktur
Menurut dia, meski sudah meletakkan angka perbandingan yang setimpal, Indonesia tetap berada diurutan bawah di belakang India, Cina dan Pakistan. "Saatnya pergi Joko, jangan biarkan fakta menghalangi cerita bagus," ucap Jake.
Menurut Jake, selama ini politikus melihat angka produk domestik bruto (PDB) sebagai kartu laporan atas prestasi mereka. Semakin tinggi jumlahnya semakin baik yang telah mereka lakukan. "Faktanya pertumbuhan ekonomi jarang berkaitan dengan mereka kecuali mereka menghambatnya," ungkap Jake.
Menurut Jake, menggunakan data PDB adalah cerita bodoh. Pasalnya, PDB digunakan untuk bersaing dalam dunia usaha dengan meletakkan jumlah uang dalam kinerjanya, tanpa menyisihkan angka untuk diaudit.
Dengan menggunakan PDB, keseimbangan akun neraca laba rugi tidak akan didapatkan. PDB juga tidak memperhitungkan penyusutan dan amortisasi. "Jika perusahaan membeli mobil yang diperkirakan bertahan lima tahun, dia harus hitung seperlima dari biaya mobil dari keuntungan dan kekayaan bersih setiap tahun. Dalam PDB kita bisa pura-pura mobil itu baru selamanya," jelas Jake.
PDB juga tidak membedakan pembangungan dan tingkat kerusakan. Logikanya, dalam membangun perumahan, biaya konstruksinya masuk ke PDB. Setelah bertahun-tahun, setelah perumahan dihancurkan, biaya pembangunannya masuk lagi ke PDB. "Satu dikurangi satu sama dengan dua. Logika matematika pemerintah yang bagus," katanya menyindir.
"Terima kasih atas acaranya, Joko, tapi ada banyak hal yang harus dilakukan dengan waktumu daripada membuat PDB konyol," kata Jake menanggapi pernyataan Jokowi.
SOUTH CHINA MORNING POST | BENEDICTA ALVINTA | ALI HIDAYAT