TEMPO.CO, Jakarta - Mungkin tak banyak yang tahu apa itu hipertensi pulmonal (pulmonary hypertension)atau hipertensi paru. Pakar Hipertensi Paru yang juga Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Bambang Budi Siswanto mengatakan hipertensi paru merupakan suatu keadaan dimana terjadi peninggian tekanan di pembuluh darah paru, baik di arteri maupun vena paru.
Penyebab hipertensi paru sangat beragam. Namun, menurut Bambang, terdapat 5 klasifikasi klinis hipertensi paru dan terbagi lagi atas berbagai sebab. "Antara lain penyakit jantung bawaan, penyakit jantung kiri, penyakit jantung paru, penggumpalan darah di pembuluh paru, penyakit jaringan ikat, lupus dan sebagainya, masih banyak lagi," kata Bambang di Jakarta, Kamis, 4 Mei 2017.
Baca: Waspadai Hipertensi Paru, Lebih Mematikan dari Kanker Payudara
Penyakit hipertensi paru dianggap langka karena cara mendiagnosanya sulit dan keluhannya tidak khas, mirip dengan keluhan penyakit paru atau penyakit jantung. "Diperlukan pemeriksaan yang lebih lengkap agar dapat ditangani dengan cepat dan tepat," katanya.
Hipertensi paru, jika diketahui sejak awal dapat diobati dengan obat-obat yang tersedia seperti golongan Ambrisentan, Bosentan, Tadalafil, Beraprost, Riociguat[5] dan juga Sildenafil / Inhibitor Phosphodiesterase Type 5 (PDE5) yang telah disetujui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) beberapa waktu lalu sebagai obat hipertensi paru.
"Namun, dalam stadium lanjut pasien mungkin tetap akan mengalami sesak napas terus dan hipertensinya menetap tidak mau turun bahkan progresif, sehingga akhirnya terjadi gagal jantung kanan,” ujar Bambang.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan, gejala umum orang yang menderita hipertensi paru seperti mengalami susah bernapas, cepat lelah, pusing (perasaan ingin pingsan), jantung berdebar, rasa begah pada perut kanan, tekanan atau rasa sakit di area dada dan kaki menjadi bengkak.
Hipertensi paru merupakan penyakit kronis yang memerlukan perubahan atau penyesuaian gaya hidup dari pasien dan pengobatan sesegera mungkin setelah diagnosa, karena bila tidak maka bisa menyebabkan gagal jantung kanan.
Selain itu, pasien yang terdiagnosa hipertensi paru memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama bahkan seumur hidup. Meskipun hipertensi paru cenderung tidak dapat disembuhkan, pengobatan yang tersedia dapat membantu mengurangi gejala dan mengingkatkan kualitas hidup.
Pengurus Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), Dhian Deliani mengatakan, berdasarkan data dari Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), prevalensi hipertensi paru di dunia adalah 5-10 pasien per 100.000 penduduk, dengan kata lain seharusnya ada sekitar 12.500-25.000 pasien hipertensi paru di Indonesia, sangat jauh dengan realita yang terdata di YHPI, yaitu sekitar 120 pasien aktif dari seluruh Indonesia.
Angka prevalensi di Indonesia bisa jauh lebih tinggi dan bisa mencapai lebih dari 30 ribu, bila mengingat di Indonesia kasus Penyakit Paru Kronis (PPOK) dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) yang tidak terdiagnosis atau dioperasi saat bayi atau anak-anak sangat tinggi dan jauh diatas negara lain. Kedua kondisi ini dapat menyebabkan kemungkinan hipertensi paru.
Selain karena gejalanya tidak khas, banyak pasien Hipertensi Paru yang tidak terdiagnosis, disebabkan masih minimnya alat diagnosis echocardiography di Indonesia serta pengenalan Hipertensi Paru di kalangan awam maupun professional medis.
Lebih lanjut Dhian mengatakan ketersediaan jenis obat hipertensi paru di Indonesia yang masih minim juga menjadi salah satu kendala. Dari 14 jenis obat yang ada di dunia, hanya 4 yang tersedia di Indonesia dan dan hanya satu yang ditanggung BPJS.
"Kami berharap Pemerintah dapat lebih memperhatikan pasien-pasien penyakit langka ini dan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bisa turut mengakomodir kebutuhan pasien akan obat ini, terutama obat golongan Sildenafil yang belum masuk ke dalam daftar formularium nasional yang bisa ditanggung oleh BPJS," ujar Dhian.