TEMPO.CO, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta mengkritik putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menghukum Gubernur Nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama 2 tahun penjara. “Majelis hakim pada kasus Ahok telah tunduk kepada tekanan massa atau intervensi ormas yang dinilai mengganggu independensi hakim.” LBH Jakarta menyampaikan pernyataan resmi tertulis pada Rabu, 10 Mei 2017.
Majelis hakim dianggap tidak melihat bahwa pihak yang menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat justru disebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran. Menurut LBH, mereka adalah kelompok yang melaporkan Ahok dan mendorong Ahok masuk ke meja hijau.
Baca:
Ahok Dihukum 2 Tahun Penjara, GNPF MUI Terima Putusan Hakim
Ingin Ahok Dibantar, Pendukung Kumpulkan KTP untuk Jaminan
“Majelis hakim membebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa yang menimbulkan keresahan di publik selama ini kepada Ahok seorang, dan menghukumnya untuk itu.” Karena itu, mereka menganggap putusan majelis hakim pada perkara ini justru memicu masyarakat untuk semakin giat menggunakan pasal penodaan agama yang antidemokrasi ini di kemudian hari.
LBH Jakarta berpendapat, Pasal 156-a KUHP, yang dinyatakan terbukti dilakukan Ahok adalah pasal antidemokrasi. Selama ini, pasal itu terbukti menjadi alasan pembenar negara dan pihak mayoritas yang intoleran untuk mengkriminalkan kelompok minoritas atau individu yang berbeda keyakinan. LBH mencontohkan, hal yang sama terjadi pada Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq (eks pemimpin Gafatar), Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (salat bersiul), Yusman Roy (salat multibahasa), serta Mangapin Sibuea (pemimpin sekte kiamat).
Baca juga:
Kenapa Tommy Soeharto Sebut Kasus Ahok Mempersatukan Umat Islam?
Surat atas Nama Ahok untuk Istrinya Beredar di Sosial Media
Majelis hakim juga dianggap abai dalam menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya. Acuannya, putusan MK No. 84/PUU-X/2012 mengenai harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan itu sebelum menerapkan Pasal 156-a dengan sanksi pidana kepada Ahok. “Ketidakpastian hukum yang coba diperbaiki oleh Mahkamah Konstitusi kembali diporak-porandakan oleh majelis hakim PN Jakarta Utara.”
LBH menilai, dengan menghukum Ahok, dunia peradilan kembali mengulangi kegagalannya menjadi tempat bagi masyarakat mencari keadilan yang sesungguhnya. Peradilan kembali tunduk kepada tekanan publik. Ini preseden buruk bagi penegakan hukum karena seseorang bisa dihukum atas dasar tekanan publik. Padahal seharusnya pengadilan menjadi pihak yang independen dan hanya setia kepada nilai keadilan, rule of law, dan konstitusi.
Simak:
Vonis Ahok dan Pembubaran HTI , Pengamat Politik: Seolah Skor 1:1
Ahok Ditahan, Djarot: Empat Alasan Penangguhan Penahanan
Menurut LBH, hakim mengorbankan rule of law dan menggantikannya dengan rule by mass atau mobokrasi. Dalam hal ini, fakta-fakta persidangan Ahok sebelumnya diabaikan hakim. “Upaya hukum banding dapat menjadi langkah berikutnya yang ditempuh untuk mencari keadilan yang hakiki.” Diharapkan, pengadilan tingkat banding dan kasasi yang berada di bawah Mahkamah Agung masih bisa dijadikan rumah bagi hukum yang berkeadilan, tempat masyarakat menaruh harapannya akan keadilan, dan memutus rantai peradilan sesat.
LBH juga memandang putusan majelis hakim bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, yakni kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi. Karena itu mereka mendesak agar pemerintah dan lembaga peradilan segera menegakkan kebenaran. Kemudian, DPR juga diminta meninjau kembali delik pasal penodaan agama.
AVIT HIDAYAT
Video Terkait:
Relawan Pendukung Ahok Coba Robohkan Pagar Rutan Cipinang