TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik senior KPK Novel Baswedan mengatakan, jika kelak sudah sembuh dan diperbolehkan pulang oleh tim medis Singapore General Hospital, akan kembali bekerja ke kantor Komisi Antirasuah. Novel menjalani perawatan mata akibat disiram air keras oleh dua orang pada 11 April 2017. Mata Novel mengalami kerusakan.
Novel berharap polisi segera mengungkap pelakunya. Banyak bukti dan saksi cukup banyak untuk ditelusuri, termasuk rekaman CCTV di rumahnya. Kepada Gadi Makitan dari Tempo, Novel menceritakan bagaimana isi rekaman CCTV tersebut. Berikut ini penjelasan Novel melalui telepon milik adiknya saat menjenguk ke Singapura. Wawancara melalui telepon berlangsung Kamis, 8 Juni 2017.
Baca: WAWANCARA EKSKLUSIF Novel Baswedan: Saya Tunggu Janji Kapolri (1)
Dari rekaman CCTV itu, sesungguhnya Anda sudah lama diintai. Apakah sadar?
Saya tahu saya diintai. Bahkan, menurut info yang saya dengar, pengintai saya adalah polisi. Saya dengar informasi itu, tapi tak punya buktinya. Saya tahu saya diikuti. Setiap ke kantor, saya diikuti, dilacak. Saya ini penyidik. Kalau penyidik tak tahu diikuti, keterlaluan, ha-ha-ha....
Anda tak bereaksi ketika diikuti?
Sekali waktu saya pojokkan orang itu di posisi tertentu, kemudian orang itu terjebak.
Kapan?
Persisnya saya lupa, tak berselang lama dari kejadian penyiraman. Dan bukan cuma itu. Saya melihat ini upaya sistematis karena sebelumnya telepon seluler saya juga dicoba diakses pihak lain.
Bagaimana Anda tahu?
Muncul tiba-tiba notifikasi yang tak lazim, kira-kira sepekan sebelum saya disiram. Istri saya juga mendapat hal yang sama. Teman-teman kantor juga. Bahkan beberapa teman di luar kantor yang berkomunikasi dengan saya. Saya juga paham teknologi informasi. Saya coba buka dan saya lihat ternyata ada device lain yang mencoba mengakses. Sejak itu, saya tahu saya sedang dikerjain. Cuma, pasti yang mengakses bakal pusing. Handphone saya isinya tausiah. Tapi semoga mereka mendapat hidayah. Orang-orang seperti itu kan harus mendapatkan hikmah. Pelakunya bukan sembarangan. Mereka ingin profiling saya dengan sungguh-sungguh, dengan alat sadap, dan mereka punya jaringan.
Baca: WAWANCARA EKSKLUSIF Novel Baswedan: Banyak Bukti dan Saksi (2)
Sudah tahu diintai, mengapa tak dikawal? Sebagai penyidik, Anda punya hak itu....
Dikawal sama siapa? Sama wartawan Tempo? Ha-ha-ha.... Begini. Ada beberapa pemahaman yang membuat saya berpikir saya tidak perlu dikawal. Pertama, saya tahu, seperti apa pun ancaman, yang terjadi hanya atas kehendak Allah. Jadi itu yang membuat saya enggak perlu takut terhadap orang-orang yang mengancam itu. Penyiraman ini juga sama sekali tidak membuat saya surut atau takut. Kalau saya takut, banditnya jadi berani. Nanti terbalik. Harusnya banditnya yang takut. Allah sudah atur semua. Sehebat-hebatnya mereka yang punya pasukan, punya kekuatan, punya apa pun, mereka adalah orang lemah, jadi tidak akan membuat saya jadi takut.
Kapolda Metro Jaya pernah bilang Anda sedang menjadi target....
Saya bilang, siapa sih yang mengancam? Enggak jelas. Jadi saya bilang, kalau masih belum terlalu jelas, kalaupun saya dikawal, itu harus perintah dari pimpinan KPK. Sebab, saya enggak mau bergerak orang per orang. Saya mau geraknya secara kelembagaan. Saya enggak tahu lagi komunikasi Kapolda dengan pimpinan KPK setelah itu.
Baca: Komnas HAM Beri Dukungan KPK dalam Pengusutan Kasus Novel
Sudah Anda sampaikan ada ancaman kepada pimpinan KPK?
Saya sampaikan. Tapi, ketika pimpinan bertanya kepada saya, seserius apa ancaman itu, saya enggak tahu. Ancaman seperti itu kan enggak bisa diprediksi, kecuali memang ada bidang khusus yang melakukan tugas itu.
Kapolda bilang, kalau Anda dikawal orang bersenjata, hal ini tidak akan terjadi, karena si penyerang bakal takut....
Pengawalan itu tidak mungkin 24 jam. Meski dikawal, pasti ada saat lengah. Saya tak melihat korelasinya. Ini sudah ada takdirnya. Sebagai antisipasi, iya, tapi semua karena Allah.
Setelah kejadian ini, bakal mau dikawal?
Wallahualam, kita lihat nanti. Intinya, saya enggak takut.
Anda sama sekali tak melihat penyiram itu? Apa yang terjadi sesungguhnya pagi itu?
Ini fakta penyidikan. Tak etis jika saya sampaikan ke media.
Setelah disiram, apa yang Anda lakukan?
Sekitar 20 detik setelah disiram, saya mendapat air, kemudian saya basuh muka selama lima menit lebih. Ada tetangga yang menyediakan mobil untuk membawa saya ke rumah sakit.
Baca juga:
Komnas HAM: Tindak Pidana Luar Biasa Teror Kepada Novel Baswedan
Teror ini kejadian keenam buat Anda. Apa yang bisa Anda tarik garis merahnya?
Ini tamparan buat negara. Semua orang di negara ini bilang korupsi harus kita berantas sama-sama. Tapi, kalau mau bicara jujur, korupsi oleh pihak-pihak tertentu juga diharapkan. Itu problemnya. Ketika korupsi itu diharapkan, terjadi inkonsistensi. Negara jadi terlihat abai karena terlihat tak ada political will yang kuat memberantas korupsi.
Omong-omong, bagaimana mata Anda sekarang?
Mata kiri dan kanan sedang dipasangi membran untuk mempercepat pertumbuhan kulit kornea. Kalau kulit kornea sudah tumbuh, upaya penyembuhan bisa optimal. Tapi memang kemungkinan besar tidak bisa pulih total. Terutama mata kiri.
Berapa persen kira-kira bisa sembuh?
Enggak bisa diprediksi. Saya bertanya kepada dokter, dokternya enggak ada yang bisa ngomong begitu.
Mata kanan?
Jauh lebih baik. Tapi membrannya belum dilepas. Setelah dilepas, kita lihat hasilnya. Saya optimistis bisa sembuh. Insya Allah.
Setelah sembuh, akan kembali menjadi penyidik?
Iya, insya Allah.
Setelah dipasangi membran, apa aktivitas Anda?
Di kamar saja. Sebetulnya boleh ke luar kamar, cuma saya enggak bisa lihat. Kalau saya jalan lalu menabrak orang, kan, enggak lucu. Tiap dua jam menjalani perawatan. Mata ditetesi selama sepuluh menit. Sebelum dipasangi membran, masih bisa baca buku atau baca Al-Quran.
GADI MAKITAN
Catatan:
Wawancara lengkap ada di majalah Tempo edisi 12 - 18 Juni 2017.