Harmoni Umat Islam dan Hindu dalam Megibung

Sejumlah umat muslim berbuka puasa bersama dalam tradisi Megibung di Masjid Al Muhajirin Kepaon, Denpasar, Bali, 5 Juni 2017. ANTARA FOTO
Sejumlah umat muslim berbuka puasa bersama dalam tradisi Megibung di Masjid Al Muhajirin Kepaon, Denpasar, Bali, 5 Juni 2017. ANTARA FOTO

TEMPO.CO, Denpasar - Bagi warga muslim di Bali, Ramadan bukan hanya jadi momentum mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Mereka juga memanfaatkan suasana Bulan Suci untuk mempererat tali silaturahmi dengan pemeluk agama lain. Salah satu cara yang dilakukan mereka untuk bersilaturahmi adalah dengan megibung. Di acara ini, warga melakukan makan bersama di meja panjang dengan menu lengkap.

Salah satu acara megibung digelar pada Ahad, 11 Juni 2017 lalu. Nyoman Sudiantara, anggota kelompok Gerakan Anti Radikalisme Bali, membuka rumahnya di Denpasar untuk puluhan warga, termasuk para pemuka lintas agama. “Kami merasa dengan suasana informal ini, persaudaraan lebih mudah terjalin,” kata Nyoman. Menurut dia, acara yang dihadiri oleh perwakilan organisasi Kristen, Hindu, dan Islam itu bisa menjadi ajang untuk saling memahami dan menghormati tradisi masing-masing agama.

Makan bersama dimulai saat buka puasa. Secara bersama-sama mereka menyantap hidangan sambil melakukan percakapan ringan. Anak-anak, remaja, dan orang tua pun berbaur dalam kebersamaan. Sebelum acara megibung, peserta mendengarkan ceramah Ustad Nur Alim. Sang ustad menyampaikan pentingnya menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Negara ini adalah warisan para ulama dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasarnya,” ujarnya. Dia menekankan perlunya melawan radikalisme yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang beragam. Acara itu juga diramaikan penampilan musik rebana dan pemberian bingkisan bagi 50 anak yatim.

Tradisi megibung juga rutin dilaksanakan warga muslim yang bermukim di Kampung Islam Kepaon, Denpasar Selatan. Masjid Al-Muhajirin yang menjadi pusat ibadah umat Islam di sana, menjadi tempat pelaksanaan acara. Ratusan warga rutin menghadiri acara yang digelar setiap malam kesepuluh Ramadan. Setelah menunaikan salat magrib berjemaah mereka buka puasa bersama dengan makan bersama-sama.

"Makna megibung untuk kerukunan kami," kata tokoh masyarakat Kampung Islam Kepaon, Haji Ishak Ibrahim. Tradisi megibung sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Ishak menjelaskan, selama Ramadan, warga Kampung Islam Kepaon rutin tadarus Al-Quran. Setiap malam setelah salat tarawih warga membaca tiga juz sampai menjelang waktu sahur. Maka dalam sepuluh hari, khataman Al-Quran sejumlah 30 juz.

"Tujuan megibung sebagai tasyakur karena kesehatan dan rezeki yang luar biasa," tuturnya. Saat megibung, warga makan bersama dalam satu wadah yang sama. Hidangan lauk-pauk yang disajikan berbeda-beda. Biasanya pada satu wadah, ada empat atau lima orang yang makan bersama. Tidak ada rasa canggung di antara mereka saat megibung. Anak-anak sampai orang tua pun bisa makan dalam satu wadah. Mereka tinggal menyesuaikan makanan yang diinginkan.

Semua makanan megibung dari sumbangan warga Kepaon. Warga yang menyediakan hidangan makanan ini dibagi menjadi tiga. Warga Kampung Islam Kepaon menyumbang bergiliran dari sisi kelod (selatan), tengah, dan kaja (utara) setiap sepuluh hari.

Tradisi megibung ini menyedot antusiasme masyarakat di luar Kepaon, salah satunya Riza Wulandari dari Ponorogo, Jawa Timur. Ia baru satu tahun tinggal di Bali. "Saya juga baru kenal dengan warga di sini," katanya. Riza tidak canggung makan bersama lima orang warga Kepaon dalam satu wadah. "Ini yang bikin enak sebagai makna kebersamaan," tuturnya.

ROFIQI HASAN | BRAM SETIAWAN