TEMPO.CO, Jakarta - Lahir di lingkungan buruh tani, Heni Sri Sundani, 30 tahun, tahu betul bagaimana sulitnya mendapatkan pendidikan dan kehidupan layak. “Cita-cita saya sekarang adalah tidak ada lagi anak-anak petani yang putus sekolah, tak ada lagi istri-istri petani yang harus berutang kepada lintah darat yang membuat kehidupan petani semakin buruk,” kata Heni kepada Tempo.
Lulus dari Sekolah Menengah kejuruan, Heni sempat bekerja sebagai tenaga Kerja Wanita di Hong Kong selama enam tahun. Pada masa itu ia gigih mengupayakan dirinya agar bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana yang sempat tertunda akibat keterbatasan dana.
Jam-jam hari libur bekerja ia mengambil kuliah IT di Saint Mary’s University. Upaya itu pun berbuah manis, Heni berhasil lulus dengan cumlaude dan menyandang gelar Bachelor Of Science In Entrepreneurial Management.
Sekembalinya ke Indonesia, pada 2011 Heni mulai mewujudkan cita-citanya yang tertunda yakni menjadi seorang guru. Ia menginisiasi program pendidikan lewat taman baca Gudang Ilmu di Ciamis. Setahun berikutnya, setelah menikah Heni pindah ke Bogor.
Bersama suami dia memulai gerakan Anak Petani Cerdas dengan membawakan buku bacaan ke pelosok desa. Ia mengajari anak-anak Bahasa Inggris, literasi, matematika, bisnis, komputer, pertanian, peternakan, dan perkebunan.
Belakangan, bersama suaminya, Aditia Ginantaka ia merintis komunitas AgroEdu Jampang Community untuk memperjuangkan hak para petani dan dhuafa.
Heni ingin para petani dan keluarganya lebih mandiri dan dapat mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang sudah menjadi haknya. Selain itu, dia juga mengupayakan konsultasi bagi para petani, membantu mereka menjual hasil tani dan melibatkan petani dalam program wisata pendidikan pertanian.
Bermula dari mendidik 15 siswa di kampung Sasak, Desa Jampang, Bogor, kini Gerakan Anak Petani Cerdas sudah tersebar di 10 kabupaten di antaranya Bogor, Ciamis, Bandung, Banjar, Tasikmalaya, Majenang, Indramayu, Cirebon, Bekasi dan Pekalongan.
M. SIDIK PERMANA