TEMPO.CO, Manila - Milisi Maute memaksa anak-anak dan sandera untuk berperang melawan tentara pemerintah Filipina di Marawi.
Juru bicara militer, Brigadir Jenderal Restituto Padilla, mengatakan bahwa beberapa diantaranya adalah ekstremis remaja yang mungkin telah direkrut dan dilatih untuk menggunakan senjata saat mereka masih anak-anak.
"Kami terus-menerus mendapatkan cerita dari (warga yang lolos) bahwa anak-anak dan sandera dipekerjakan dalam baku tembak," kata Padilla, seperti yang dilansir Gulf News, Selasa 11 Juli 2017.
Selain remaja, milisi Maute yang telah bersumpah setia kepada ISIS itu juga memaksa anak-anak dan warga sipil untuk mengangkat senjata.
Baca: Pemasok Senjata Api ke Kelompok Teroris di Marawi Ditangkap
"Betapapun sadisnya, tentara kita melakukan yang terbaik untuk menghindari korban anak-anak ini yang dipekerjakan. Mereka memikul senjata dan terlibat dalam pertempuran," ujar Padilla.
Dalam pertempuran yang telah berjalan lebih dari 7 pekan tersebut, militer Filipina menyatakan lebih dari 100 orang masih bersembunyi di Marawi.
Tak lama setelah menyerang Marawi pada 23 Mei 2017, milisi Maute langsung menyandera ratusan orang, termasuk seorang pastor. Hingga kini sekitar 300 warga sipil lainnya diyakini masih terjebak di daerah tersebut.
Baca: Perang Marawi Telah Menggusur 400 Ribu Warga
Selain berperang warga sipil juga telah dipaksa untuk membantu orang-orang bersenjata tersebut membawa persediaan dan amunisi, merawat korban luka dan bahkan membantu Maute menjarah kota tersebut.
Hingga kini perang di selatan Filipina antara Militer dan kelompok Maute telah merenggut lebih dari 500 nyawa, termasuk 89 tentara dan polisi, 39 warga sipil dan 379 milisi serta menyebabkan 400.000 warga Marawi mengungsi.
GULF NEWS | GMA NETWORK | YON DEMA