TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan membekukan sejumlah rekening milik perusahaan atau individu yang diduga berkaitan dengan tindak pidana terorisme atau pengembangan senjata pembunuh massal.
Pembekuan dilakukan setelah menerima daftar identitas korporasi atau individu yang terlibat dua kejahatan khusus tersebut dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Rekening tersebut diduga berfungsi sebagai penyalur atau penampung dana.
“Nama-nama itu akan dikirim (PPATK) kepada lembaga pengawas dan pengatur, yaitu bank dan Otoritas Jasa Keuangan," kata Kepala PPATK Kiagus Badaruddin, Kamis, 10 Agustus 2017.
Baca: Kepala PPATK: Telusuri Aliran Dana Bisa Cegah Terorisme
Menurut dia, lembaga perbankan akan langsung menelusuri semua rekening dan aset yang berkaitan dengan korporasi atau individu dalam daftar Dewan Keamanan PBB tersebut. Perbankan juga akan langsung mengambil tindakan cepat atau pembekuan setelah menemukan rekening dan aset yang diduga berkaitan dengan terorisme dan pembuatan senjata pembunuh massal.
“Semua proses dari PBB hingga perbankan berlangsung hanya satu hari. Ini untuk mencegah pemindahan dana atau kemungkinan lain,” ujar Kiagus.
PPATK telah beberapa kali menyampaikan adanya dugaan pendanaan tindak pidana terorisme yang berasal dari dalam ataupun luar negeri. Hal ini merujuk pada kelompok simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang mulai mengirim uang pendanaan dari luar negeri melalui rekening dan transaksi virtual.
Akhir 2016, PPATK memaparkan 97 transaksi dengan total Rp 88,8 miliar dari Australia ke Indonesia, yang diduga sebagai pendanaan kepada anggota jaringan simpatisan ISIS yang dikomandoi Bahrun Naim. Dana serupa juga tercatat masuk dari Malaysia sebanyak 44 transaksi sebesar Rp 754,8 juta. Bahrun Naim sendiri dikenal sebagai buron terorisme yang berniat membangun ISIS di Asia Tenggara bersama rekannya, Mahmud Ahmad, mantan dosen salah satu universitas di Malaysia.
Baca juga: OJK Terbitkan Pedoman Pemblokiran Dana Nasabah Terduga Teroris
PPATK juga mencatat aliran dana terorisme dari Indonesia ke luar negeri. Dana terbanyak dialirkan dari Indonesia ke Australia sebanyak enam kali dengan jumlah Rp 5,38 miliar. Aliran dana dari Indonesia juga sempat tercatat ke Filipina sebanyak 43 transaksi dengan jumlah Rp 229 juta. Meski menolak memberikan detail, PPATK juga mencatat adanya aliran dana dari Filipina ke Indonesia setelah serangan Marawi.
Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian Komisaris Besar Martinus Sitompul sempat mengatakan Korps Bhayangkara memang telah meminta bantuan PPATK dan Bank Indonesia menelusuri pendanaan terorisme, termasuk penggunaan uang virtual. Beberapa transaksi yang dilakukan kelompok Bahrun Naim sendiri tercatat menggunakan uang virtual di Paypal dan Bitcoin. “Kami mendalami regulasi dan cara pengumpulannya,” kata Martinus.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Inspektur Jenderal Suhardi Alius mengatakan kerja sama antarlembaga penegak hukum, pengawasan, dan perbankan sangat penting untuk memutus pendanaan terorisme. Menurut dia, kelompok teroris masih bergantung pada ketersediaan dana sebelum melakukan serangan.
BIANCA ADRIENNAWATI l REZKI ALVIONITASARI | FRANSISCO R.