TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memanggil para profesional berprestasi di luar negeri untuk kembali ke Tanah Air membangun negeri. Ia mengajak 24 profesor di Amerika Serikat untuk pulang ke Indonesia. Waktu itu, Jokowi menjanjikan para profesor ini mengurusi sekolah vokasional di Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua. “Kita akan bangun sebuah pusat riset untuk padi di Merauke," kata Jokowi. Baca: Jokowi Minta Diaspora Indonesia Bantu Kinerja Ekspor
Menurut Jokowi, potensi anak bangsa yang pintar-pintar itu sayang jika tak digunakan untuk membangun negeri dan malah diberdayakan oleh negara lain. Dia mengatakan jumlah profesor Indonesia yang berkarier di luar negeri amat banyak. Persaingan antarbangsa, ucap dia, sudah di depan mata. Karena itu, para jenius ini diharapkan kembali ke Indonesia untuk memperkuat bangsa di percaturan global.
Namun, bagi sang profesional, tentu saja banyak pertimbangan besar untuk memutuskan kembali ke dalam negeri. Hal utama yang menjadi pertimbangan biasanya adalah penghargaan atas dirinya. Salah satu contoh yang kerap menjadi hantu bagi diaspora adalah kasus Ricky Elson.
Ilmuwan Ricky Elson di pusat studi Lentera Alam Nusantara yang kini bernama Lentera Bumi Nusantara, Ciheras, Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Agustus 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Ricky tadinya hidup sangat mapan di Jepang, tapi dia kembali ke Indonesia setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara saat itu, Dahlan Iskan, mengajaknya pulang. Dia ditugaskan mengembangkan mobil bertenaga listrik. Namun pengembangan mobil itu terasa sepi dukungan dari pemerintah dan belakangan menuai banyak problematika.
Bagi sebagian orang, berkarier di luar negeri merupakan dambaan. Ada anggapan bahwa kehidupan profesional di luar negeri lebih menjanjikan kesejahteraan bagi keluarga. Meski tak sedikit yang akhirnya merelakan gaji besar dan segudang prestise lainnya untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Ada beragam alasan di balik itu.Baca juga: Diaspora Jawa Setia Menjaga Tradisi di Tempat Baru
Seperti Rizki Rikardo yang tadinya bekerja sebagai manajer akuntan regional di perusahaan multinasional yang berbasis di Malaysia. Rizki berperan sebagai kepala bagian akuntansi untuk beberapa anak usaha yang ada di ASEAN dan Pasifik, seperti di Korea Selatan, Indonesia, dan Thailand. “Saya bertanggung jawab memastikan akuntabilitas laporan keuangan dan memimpin departemen akuntansi di masing-masing negara tersebut,” kata dia.
Namun Rizki berpikir merelakan semua posisi strategis tersebut untuk kembali ke Tanah Air. Keluarga jadi alasan utamanya. “Rencana dan kedekatan karier saya dengan keluarga adalah pendorong utama saya untuk memutuskan menerima pekerjaan dan membangun karier lagi di Indonesia,” kata dia. Rizki kini menjajaki peran baru di Indonesia sebagai Kepala Bagian Keuangan Nissan Motor Indonesia.
Menurut Rizki, ketakutan utamanya saat hendak bekerja di Jakarta adalah kemacetan. “Saya khawatir tidak cukup produktif karena kehilangan banyak waktu dalam kemacetan Jakarta,” kata dia. Sebab, dia sudah dapat membayangkan akan kehilangan waktu yang sebetulnya dapat dia gunakan untuk bekerja dan beristirahat.
Selain tentang kemacetan, perbedaan budaya menjadi tantangan selanjutnya. Untuk mengatasinya, Rizki mencari perusahaan multinasional. Menurut dia, perusahaan multinasional bisa memberi jaminan mengenai lingkungan multikultural. “Penting bagi saya berada di lingkungan multikultural untuk membantu mengakselerasi pertumbuhan saya,” ujarnya.
Dengan pengalaman multikultural itu, Rizki mengatakan dia tak mendapat kesulitan apa pun terkait dengan perbedaan budaya dan lingkungan kerja yang dihadapinya kini. “Berkat lingkungan multikultural itu, saya tidak memiliki kesulitan khusus untuk bekerja dengan budaya yang berbeda dalam peran saya saat ini,” kata dia.
Menurut Rizki, untuk memenuhi perasaan aman terhadap kariernya di Indonesia, dia membutuhkan jembatan. Salah satunya berbentuk perusahaan konsultan tenaga kerja yang bisa menghubungkannya dengan perusahaan yang cocok menurut dia. Rizki mengatakan dia mendapat kesempatan untuk menumbuhkan karier yang signifikan di Indonesia. Meskipun ruang lingkupnya saat ini hanya terpusat untuk negara Indonesia. “Tapi budaya manajemen yang tepat bisa memberi saya motivasi lebih untuk memajukan diri,” kata dia.
Selain Rizki, ada sutradara Hollywood asal Indonesia, Livi Zheng yang seperti kembali ke kampung dengan mengerjakan film terbarunya, Bali: Beats of Paradise. Dalam film semidokumenter ini, Livi Zheng mengeksplorasi seni gamelan dan tari Bali. Ia membungkusnya dengan narasi tentang suami-istri dari Bali yang sukses di Amerika Serikat berkat gamelan dan tarian Bali. Artikel lainnya: Amelia Rachim, Desainer Perhiasan Indonesia Moncer di Italia
DINI PRAMITA